Bagi kita, manusia modern yang berbudaya instant dan pragmatis; cenderung melihat sesama sebagai sarana pencapai tujuan. Berhadapan dengan kenyataan kejahatan di sekitar kita, kita cenderung berkumpul hanya dengan mereka yang membuat kita nyaman dan aman. Justru pada saat seperti ini, pesan Yesus menjadi lebih relevan lagi. kehadiranNya yang menguatkan kita akan terwujud kalau kita saling mengasihi dan mencoba meluaskan kasih itu kepada sekitar kita. Mengapa demikian?
Dalam banyak agama, perintah moral seringkali dimengerti sebagai: kita HARUS berbuat baik SUPAYA masuk surga dan JANGAN berbuat jahat SUPAYA jangan masuk neraka. Hidup beragama dimengerti sebagai sejumlah HARUS dan JANGAN, demi keselamatan orang itu. Sehingga hidup orang dihitung dengan berbagai ganjaran atas perbuatan baiknya dan hukuman karena kesalahan dan dosa-dosanya. Karena itu orang senang mencari petunjuk dan bimbingan untuk mengetahui apa yang harus dan jangan dilakukan. Penghayatan hidup beragama seperti itu merupakan bentuk penghayatan agama yang melihat Tuhan sebagai pengganjar dan penghukum perbuatan kita. Sebagian besar agama dimengerti secara demikian. Agama Islam, Hindhu, Buddha, sebagian besar aliran kepercayaan, bahkan banyak Gereja Protestan juga demikian. Dan sayangnya, banyak orang Katolik juga menghayati hidup keagamaannya secara demikian. Banyak orang Katolik bertanya, ini dosa atau tidak, wajib atau tidak dsb. Tentu penghayatan hidup beragama seperti ini tidak salah, tetapi tidak lengkap, bukan penghayatan agama dan relasi dengan Tuhan yang diajarkan oleh Kristus dan diteruskan oleh Gereja.
Kita diajak untuk saling mengasihi, sesuai dengan teladan Yesus yang mengasihi kita sampai memberikan nyawaNya untuk sahabat-sahabatNya. Kita dipilih Yesus menjadi sahabatNya. Hal ini ditegaskan kembali oleh Yohanes dalam surat pertamanya: Cintakasih berarti Allah yang menaruh cintakasih kepada kita, bukan kita yang mengasihi Allah. Seringkali dikatakan: Kita harus mencintai. Hal ini nampaknya tidak masuk akal. Kita tidak dapat diharuskan mencintai seseorang, kita dapat diperintahkan untuk berbuat baik menghormati dsb. Tetapi tidak dapat diperintah untuk mencintai.
Karena mencintai pada awalnya merupakan soal suka atau tidak suka dengan seseorang. Itu kasih pada tingkat manusia. Tetapi sebagai pengikut Kristus, kita diharapkan dapat lebih dari itu. Kita dapat mengasihi Tuhan dan sesama jika kita memiliki kasih itu dalam hati kita dan kita memilih bersikap mau mengembangkan dan menumbuhkan cinta itu dalam hidup kita. Untuk itu, sebenarnya kita sudah diberi bekalnya oleh Tuhan: Allah lebih dahulu mengasihi kita. Jika kita mengalaminya dalam pengalaman hidup kita, maka kita juga dapat mengasihi Allah dan sesama.
Hal ini sebenarnya merupakan pengalaman biasa dalam hidup sehari-hari. Anak yang mengalami dikasihi orang tuanya, dengan sendirinya akan berbuat baik. Anak yang tidak merasa dicintai, entah karena kesalahan orang tuanya atau sebab lain, juga tidak belajar mencintai. Untuk setiap tugas, dia seperti pak ogah: cepek dulu dong.
Dan seringkali kita dalam menghayati hidup beriman juga seperti itu. Untuk setiap servis, kita harus memberi tips, atau kita mengharapkan tips. Juga dengan Tuhan. Kalau kita mendapat kesulitan, kita bertanya-tanya: apa dosa saya, apa salah saya. Dan kita menghitung semua ‘kebaikan dan jasa’ kita. Kita sudah rajin ke gereja, sudah memberi sumbangan dsb. Mengapa Tuhan memberi kita cobaan atau hukuman seperti ini? Atau kita kecewa karena sudah berdoa, novena dsb. Tuhan tidak juga menjawab doa-doa permohonan kita.
Orang yang mengalami kasih Tuhan, menerima dan mau menumbuhkannya, akan memiliki sikap mau mengasihi lebih dari kepentingan, kesenangan dan kebutuhannya sendiri saja. Bahkan juga melampaui perasaan negatip, tidak suka, rugi dan sebagainya.
Seorang pastor Misionaris suatu ketika berkata: “Saya sekarang dapat membedakan orang yang datang kepada saya, dia itu Kristen atau bukan. Kalau dia masuk dengan muka murung/tegang, dia itu pasti bukan Kristen.” Tentu hal itu bukan ukuran mutlak. Tetapi ada benarnya. Jika orang hidup dalam kasih, entah dia hidup susah, berkekurangan atau hidup makmur berkecukupan, mukanya cerah, karena ia menikmati hidupnya. Jika orang tidak punya kasih dalam hidupnya, maka hidup ini merupakan sejumlah beban dan persoalan, yang pasti tidak dapat membuat hidupnya cerah gembira.
Seorang anak diajak ke gereja yang jendelanya terdiri dari mosaik para rasul. Anak itu kagum dengan keindahan gereja itu. Dia bertanya itu apa. Orang tuanya berbisik: itu para rasul. Sampai di rumah dia bercerita kepada teman-temannya: para rasul ialah jendela indah tempat matahari bersinar masuk.[1]
Kristus yang sudah wafat dan bangkit, telah membuktikan kasih Allah kepada kita. Apakah kasih itu sudah mewarnai hidup kita? Apakah kita sudah mengalami kasih itu dalam hidup kita sehari-hari, sehingga hidup kita merupakan hidup yang cerah yang memancarkan keindahan kasih Allah kepada orang-orang yang kita temui setiap hari? Mari kita mohon kurnia kasih itu dalam hidup kita ini. AMIN.
Terim kasih Romo atas renungan kasih minggu ini. Rupanya perbuatan kasih harus trus diperjuangkan terutama umat yang mengimani Yesus Kristus, sehingga kasih (mengasihi) menjadi budaya yang membumi di Indonesia. Berkah Dalem Romo.