Jumat, 23 Februari 2024
- Yeh. 18:21-28;
- Mzm. 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8;
- Mat. 5:20-26.
KEBAIKAN dan keburukan merupakan dua perilaku yang sangat bertentangan satu sama lain. Kadang suatu kehidupan ada yang dominan kebaikannya ada juga yang dominan keburukannya. Begitu pun kehidupan yang ada di masyarakat, ada yang baik ada juga yang buruk.
Meski semua manusia memiliki kebaikan dan keburukan, akan tetapi lebih dominan yang mana kita berperilaku. Karena memang hidup tidak selalu mudah ketika dijalani sesuai dengan sabda dan kehendak Allah.
“Berbuat baik, sudah aku lakukan, namun mengapa masih banyak kesusahan yang sering saya jumpai,” kata seorang bapak. “Aku jalankan semua yang diperintahkan agama, dan tidak berbuat jahat atau menyalahi orang lain, namun tetap saja banyak masalah yang harus saya hadapi,” lanjutnya. “Tidak berbuat jahat, itu penting namun lebih penting lagi adalah bagaimana saya bisa selalu menaruh kasih pada sesama,” paparnya. “Baik dalam situasi susah maupun dalam keadaan baik, selalu menabur kebaikan,” ujarnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Dalam khotbah di bukit, berkatalah Yesus: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kalian tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”
Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat memang dikenal ‘saklek’ cara hidupnya. Pokoknya hidup sesuai hukum yang berarti melakukan perintah hukum dan menghindari apa yang dilarang dalam hukum. Hanya saja kehadiran Yesus menyempurnakan cara hidup yang kaku ini lewat hukum kasih.
Melalui hukum kasih, Kita diingatkan agar tidak berpuas diri karena telah menuruti hukum (legalitas, literalistis), namun selalu berusaha untuk memahami inti, maksud dan tujuan (modernis) Allah memberikan hukum itu, Yesus mengajak kita untuk kembali ke dalam diri dan hati nurani, melihat motif, lalu berusaha untuk menghindari hal-hal sepele yang bisa berujung pada dosa berat.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku melaksanakan hukum kasih dalam kehidupan ini?