SEORANG calon pendeta mendapat kesempatan untuk berkotbah di rumah jompo di sebuah kota kecil. Pada pagi Sabtu itu, rasa takut mulai memenuhi benaknya. Saat itu ia baru berumur 21 tahun. Apa yang dapat saya sampaikan pada orang-orang lanjut usia ini? Sebagai langkah awal ia berkenalan terlebih dulu dengan mereka. Hampir setiap orang menceritakan permasalahan yang sama yaitu bahwa mereka merasa tidak mempunyai apa-apa untuk dapat menolong orang lain.
Mendengar cerita-cerita itu, ia segera tahu pesan apa yang harus saya sampaikan dalam khotbah saya, yaitu “Percakapan antara Musa dengan Allah di semak duri yang menyala” (Kel. 3). Pasal itu menceritakan tentang Musa yang merasa tidak mampu mengemban tugas untuk memimpin bangsa Israel. Kesimpulan dari pasal tersebut adalah bahwa setiap orang, berapapun usianya, pasti memiliki sesuatu yang dapat dipakai untuk menolong orang lain.” Diskusi yang hidup pun terjadi. Dari ruang sebelah, Ibu Bean memanggilnya dari tempat dia terbaring. “Nak, apakah engkau yakin dengan apa yang engkau sampaikan tadi?” “Ya, sangat yakin,” jawabnya.
Ibu Bean melanjutkan, “Aku telah melekat di tempat tidur ini selama 15 tahun. Katakan padaku, bagaimana aku dapat menolong orang lain.” Ia mengulang Firman Tuhan dalam Alkitab kepadanya, “Apakah yang di tanganmu itu?” (Keluaran 4:2a). Ibu Bean menjawab, “Tidak ada, hanya sebuah telepon. Dan apakah manfaat telepon itu, tidak ada orang yang dapat kutelepon?” “Saya tidak memiliki jawaban saat ini,” jawabnya dengan jujur. “Tapi mengapa kita tidak mendoakan hal ini?” Malam itu ia memikirkan Ibu Bean dan pernyataannya bahwa dia tidak memiliki seseorang untuk ditelepon.
Bagaimana kalau saya mencarikan orang-orang yang dapat diteleponnya? Di gereja tempat dia ditugaskan, ia mulai bertanya kepada ketua-ketua komisi, “Tidakkah lebih baik bila kita memiliki seseorang yang dapat menelepon dan mengingatkan setiap anggota komisi setiap kali mengadakan pertemuan/rapat?” Hari itu juga, dia memperoleh daftar 36 nama yang segera diberikannya pada Ibu Bean. Meskipun ragu-ragu, dia setuju untuk menghubungi nama-nama tersebut lewat telepon dan mengingatkan mereka tentang jadwal pertemuan. Selama seminggu itu, ia mengumpulkan nama-nama dari kelompok lain.
Lalu pada hari Sabtu berikutnya, bahkan sebelum ia sempat duduk di kursi, Ibu Bean sudah minta nama-nama lain yang dapat dia hubungi. Ibu Bean bercerita, “Pada mulanya aku berpikir bahwa aku hanya sekedar mengingatkan mereka. Tetapi ada beberapa di antara mereka yang ingin tahu dan mengenalku, dan kami benar-benar melanjutkan percakapan kami. Mereka mengatakan keinginan mereka untuk sharing lagi dengan saya pada minggu berikutnya!” Saat ia lulus dari seminari, Ibu Bean telah mengenal hampir setiap orang di kota itu. Jika kita memakai apa yang Tuhan berikan dan sediakan pada kita, maka tidak dapat dibayangkan lagi tentang berapa banyak hal yang dapat kita lakukan dengan pemberian itu.
Menjadi rasul bukan cara hidup yang diwajibkan pada kita. Para murid siap diutus sesudah mereka berjalan mengikuti Yesus. Apakah perjalanan hidup kita, kita jalani bersama Kristus? Apakah kita berjalan mengikuti Dia? Kebutuhan akan kenyamanan, kepastian dan keamanan hidup dapat membuat kita berhenti mengikuti Dia. Iman Kristiani kita sekedar menjadi sebuah ikatan sosial, tergabung dalam kelompok Gereja Katolik, tetapi tidak berjalan bersama sumber dan dasar Gereja Katolik, Yesus Kristus kepala dan pimpinan kita. Jalan orang yang sungguh mengikuti Yesus adalah jalan sebagai yang diutus, tetapi suatu pilihan sikap syukur pada Tuhan yang mengalir dari hidup yang penuh kasih Allah dan melimpah pada sesama kita, apa pun situasi hidup kita. AMIN.
MINGGU BIASA 15, B; 15 Juli 2012
Amos. 7:12-15; Ef. 1:3-14; Mrk. 6:7-13
saya senang dengan cerita ini sangat menarik dan menyadarkan kita, bahwa kita bisa berbagi dengan sesama dari hal yang sederhana dari apa yang ada pada kita