Renungan Harian Jumat, 4 Juni 2021
Bacaan I: Tob. 11: 5-11
Injil: Mrk. 12: 35-37
BEBERAPA waktu yang lalu, saya menerima telepon dari seorang ibu untuk minta intensi misa.
Ibu itu minta intensi untuk mengucapkan syukur karena puterinya telah ditemukan dan kembali ke rumah. Saya menyanggupi dan bertanya apakah putrinya hilang?
itu lewat telepon bercerita tentang puterinya.
“Pastor, anak perempuan saya kurang lebih lima tahun lalu pergi dari rumah. Sejak pergi dari rumah saya tidak tahu kabarnya, tidak tahu keberadaannya. Kepergiannya sungguh membuat kami sekeluarga amat terluka dan amat sedih, secara khusus membuat saya menderita.
Pastor, awalnya anak saya pulang kuliah diantar oleh seorang laki-laki. Saya tanya anak saya apakah laki-laki itu pacarnya, dia mengatakan iya.
Karena dia pacar anak saya, kami menerima dengan baik. Dan kami ajak makan malam bersama.
Pada saat makan itu kami berkenalan satu sama lain. Bapaknya tanya apakah teman kuliah anak kami, laki-laki itu menjawab bukan. Apakah masih kuliah dia menjawab bahwa dirinya tidak kuliah dan sekarang kerja serabutan.
Kami tidak mempersoalkan dengan itu. Dan bapaknya menasohati kalau sekarang berteman, berteman yang baik untuk saling kenal lebih dalam.
Suatu kali, kami mendengar bahwa laki-laki itu sudah beristeri.
Ketika laki-laki itu datang, sebagaimana biasa kami terima dengan baik.
Bapaknya bertanya apakah dia masih bujangan, laki-laki itu menjawab bahwa dirinya sudah punya isteri dan seorang anak, tetapi sekarang baru dalam proses bercerai.
Bapaknya menasehati kalau sudah beristri, sebaiknya jangan pergi-pergi dengan anak kami nanti menimbulkan masalah baru.
Intinya kami keberatan, kalau laki-laki itu pacaran dengan anak saya.
Semua itu kami bicarakan baik-baik. Namun yang membuat kami, saya dan bapaknya marah, ketika laki-laki itu bicara dengan ringan. Kalau proses perceraian lama, nanti bisa nikah siri lebih dahulu.
Malam hari, kami panggil anak kami dan menasihati agar menjauh dari laki-laki itu, karena sudah beristeri.
Tetapi entah mengapa anak kami justru membela laki-laki itu.
Bapaknya agak keras mengatakan bahwa kami tidak setuju bahwa dia pacaran dan nanti menikah dengan laki-laki itu.
Pastor, esok pagi anak kami sudah tidak di rumah dan meninggalkan surat kalau dia pergi dan tidak perlu dicari.
Kalau dia tahu kami mencari sampai lapor polisi, anak kami mengancam akan bunuh diri.
Pastor, saya lemas dan bapaknya amat marah sampai harus opname karena sakit jantung.
Kami tidak berani berbuat apa-apa untuk mencari anak kami, karena kami khawatir anak kami nekat. Kami hanya bisa berdoa, dan berdoa.
Dua hari yang lalu tanpa disangka anak kami menelepon minta dijemput.
Pastor, kami menjemput anak kami, dan kami bahagia sekali bahwa dia mau pulang ke rumah, pulang ke kami. Ternyata anak kami telah disia-siakan laki-laki itu, dia harus kerja keras menghidupi laki-laki itu.
Ternyata laki-laki itu kasar dan suka main perempuan. Anak kami tidak berani menghubungi kami karena selalu diancam oleh laki-laki itu.
Syukurlah laki-laki itu ditangkap polisi karena perkelahian sehingga anak kami bisa menghubungi kami.
Pastor, kami amat bahagia, amat bersyukur anak kami mau kembali, Tuhan telah mengangkat beban yang amat berat dari pundak kami.
Itulah pastor, kenapa kami minta intensi, kami mau bersyukur karena Tuhan mendengarkan doa kami selama ini.”
Betapa banyak, orang menderita karena kasihnya pada anak-anaknya. Dan betapa penderitaan orangtua yang panjang bisa lenyap ketika mengalami kasih bersama anak-anaknya.
Sebagaimana sabda Tuhan sejauh diwartakan dalam Kitab Tobit, kebahagiaan luar biasa dirasakan oleh Tobit. Syukur yang luar biasa pada Allah, karena ia bisa melihat kembali wajah anaknya.
“Terpujilah Allah. Terpujilah nama-Nya yang besar. Terpujilah para malaikat-Nya yang kudus.”