Puncta 06.11.23
Senin Biasa XXXI
Lukas 14: 12-14
GADIS itu membagikan makanan dengan sukacita kepada anak-anak yatim piatu. Ia mondar-mandir melayani mereka dengan lincah dan riang gembira.
Ada kue-kue dan kudapan yang dibungkus. Ada pula hadiah-hadiah untuk mereka berupa alat-alat tulis dan permainan. Semua anak diberinya sebagai kado ulang tahunnya.
“Saya sebetulnya sudah menyiapkan hadiah khusus bagi anak saya yang berulangtahun ke-17 tujuh ini,” cerita mamanya. “Tetapi dia menolak, tidak mau ada hadiah atau pesta pora untuk dirinya,” sambungnya.
“Usia 17 tahun adalah usia istimewa, sebenarnya kami juga sudah menawarkan kepadanya pesta di hotel bintang lima dengan mengundang teman-temannya, tetapi dia menolak dengan halus takut menyakiti kami,” sambung papanya.
“Dia mengusulkan agar pestanya dipindah di panti asuhan. Dia sendiri yang memilih panti asuhan mana. Dan ternyata di sini, tempat anak-anak cacat ditampung dan dilayani,” papanya bercerita dengan mata berkaca-kaca, terharu.
Mamanya menyahut, “Kami sangat bahagia dengan pilihan anak kami ini. Ia telah mengajari kami orangtuanya apa artinya bahagia. Saya bisa melihat dari wajah anak-anak panti ini.”
Yesus dalam perikope Injil hari ini mengajarkan tentang kasih tanpa pamrih. Kasih sejati adalah kasih yang tidak memakai perhitungan untung rugi. Kasih yang sempurna adalah kasih yang tidak mengharapkan balasannya.
Ia berkata, “Bila engkau mengadakan perjamuan siang atau malam, janganlah mengundang sahabat-sahabatmu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu, atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula, dan dengan demikian engkau mendapat balasnya.”
Ajaran Yesus ini bertentangan dengan semangat dunia yang “do ut des”. Apalagi ada sebagian orang yang punya prinsip “time is money.”
Orang tidak ingin kehilangan waktu tanpa mendapat hasil apa-apa. Maka segala sesuatu dihitung dengan prinsip untung rugi. Dengan demikian orang hanya mengandalkan usahanya sendiri.
Sikap selanjutnya memunculkan semangat “Homo Homini Lupus”. Orang lain dianggap sebagai saingan, musuh yang harus dikalahkan.
Kasih berlawanan dengan semangat dunia. Kasih tanpa pamrih tidak mengandalkan kemampuan sendiri. Ia mengandalkan kebaikan Tuhan.
Ia menganggap sesama adalah orang yang harus dikasihi, bukan ditindas atau dikalahkan. Jika ia mengasihi sesama yang kecil dan menderita, pasti Tuhan akan membalasnya.
Tuhanlah yang menjadi andalan ketika kita mengasihi tanpa pamrih.
Beranikah kita mengasihi tanpa mengharap balasannya?
Bunga melati dicampur bunga selasih,
Warnanya sangat indah putih bersih.
Marilah kita mengasihi tanpa pamrih,
Tuhan membalas kita penuh welas asih.
Cawas, kasihilah sesamamu yang terkecil