Sabtu, 12 Maret 2022
- Ul. 26:16-19.
- Mzm: 119:1-2.4-5.7-8.
- Mat 5:43-48
ADA orang yang berpikir, jika orang lain bersikap baik kepada mereka harus diperlakukan dengan baik. Sedangkan orang yang berbuat jahat, kita benci dan musuhi atau minimal kita singkiri.
Lalu ada juga yang berpikir bahwa kita harus membalas budi kepada mereka yang berbuat baik kepadanya, dan membalas kejahatan dengan tindakan setimpal.
Namun apa yang telah terjadi dengan sikap membalas kebaikan dengan kebaikan, dan membalas kejahatan dengan setimpal?
Bukankah hidup bersama banyak diwarnai luka dan kecewa bahkan dendam yang tidak menentu.
Membalas bukanlah kasih.
Kasih merupakan perasaan yang dimiliki oleh setiap manusia yang ditunjukan melalui perbuatan kita terhadap orang lain.
Melalui kasih kita dapat menciptakan sebuah hubungan yang harmonis antara diri sendiri dengan Tuhan, keluarga, teman, dan juga orang di sekitar kita.
“Tidak pernah akan saya lupakan, pengalaman waktu saya kelas tiga SD,” kata seorang bapak.
“Waktu itu saya bermain dengan teman-teman sebaya di kampung, main pistol-pistolan yang pelurunya dari pentol korek,” lanjutnya.
“Awalnya kami main biasa saja, dan sangat seru di malam hari itu. nyala api dari pentol korek yang terbang ketika ditembakkan itu membelah kegelapan,” ujarnya.
“Entah bagaimana, salah satu tembakan pistol itu ke kandang kerbau milik tetangga yang atapnya terbuat dari ijuk,” lanjutnya.
“Tak berapa lama atap itu menyala, dan terbakar. Saya berusaha memadamkan, tapi ada daya saya sebagai anak kecil, teman-temanku lari pergi menjauh,” kisahnya.
“Setelah itu banyak orang datang, dan tetanggaku marah-marah. Saya lalu diam-diam pergi dan sembunyi,” lanjutnya.
“Semalaman saya sembunyi di kuburan, hingga orangtuaku mencariku, namun mereka tidak menemukanku,” katanya
“Paginya, saya pulang karena lapar, ibuku menyambutku dan memelukku sambil menangis,” kenangnya.
“Kamu tidak usah takut, nanti kita ganti kandang yang terbakar itu. Demikian kata ibuku,” kisah bapak itu.
“Iya saya salah bu, saya tidak akan mengulangi lagi,” kataku waktu itu.
“Ibuku kecewa, namun dia tidak menyerangku. Dia tidak marah, tetapi merangkukku. Dia tahu kesedihan dan penyesalanku. Ia memaafkanku, sebelum aku minta maaf,” kenangnya.
“Sikap ibu yang penuh kasih inilah yang membuatku lebih bertanggungjawab dan senantiasa mudah mengampuni orang yang bersalah sampai saat ini,” sambungnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengasihi dengan total kepada sesama.
Saat kebanyakan orang di dunia ini menuntut balas ketika disakiti, dicurangi atau dirugikan, Kristus mengajak kita untuk mengasihi mereka. Bahkan Dia mengajak kita untuk mendoakan mereka yang telah menganiaya kita.
Tentu bukan hal yang mudah untuk menerapkannya di dalam kehidupan kita sehari-hari karena harus melawan ego kita untuk tidak menuntut balas, tetapi Kristus memberi teladan saat Ia mendoakan orang-orang yang menganiaya Dia.
Mungkin kita akan terlihat seperti orang bodoh di mata orang-orang kebanyakan, tetapi bukankah indah bila di dunia ini tidak ada budaya menuntut balas?
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku berani mengampuni orang yang membenciku?