Selasa, 20 Juni 2023
2 Kor 8: 1-9,
Maz 146: 2.5-6,7, 8-9a R:2a
Mat 5:43-48
ADA orang yang hidupnya gelap dan menderita karena tidak mampu mengampuni dah mendoakan orang yang telah melakukannya.
Sering kali diajak untuk lebih positif memandang sesama namun tidak mudah untuk menerima tawaran untuk menata dan mengubah pemikirannya.
Selalu merasa diri sebagai kurban hingga membuatnya mengalami hambatan tumbuh kembang secara optimal.
Takut mengalami kekecewaan dan terluka lagi hingga dari mereka lebih senang menutup diri dan tinggal di zona nyaman.
Ketika hati merasa terlilit kepedihan hingga membuat kita enggan bergerak menuju sesuatu yang lebih.
Kita jadi malas mencoba hal lain karena merasa apa yang kita raih saat ini sudah lebih dari cukup.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”
Yesus menuntut standar yang tinggi bagi kita para pengikut-Nya.
Yesus menunjukkan bahwa cita-cita kita hidup di dunia ini adalah sempurna seperti Bapa sempurna adanya.
Untuk mencapai kesempurnaan itu Tuhan Yesus menawarkan jalan kasih.
Kita dipanggil untuk meneladani Yesus sendiri: mengasihi musuh-musuh kita dan berdoa bagi mereka.
Ini adalah perintah yang “tidak manusiawi.”
Karena, sebagai manusia, kita pasti sulit melaksanakannya, daging kita pasti menolak.
Sebaliknya, ini adalah perintah ilahi. Kita tidak mampu jika hanya mengandalkan kekuatan sendiri.
Dengan bantuan Allah Roh Kudus sajalah kita akan sanggup melakukannya.
Ia yang akan melembutkan hati kita dan memampukan kita untuk mengampuni dan kemudian mengasihi.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku berani mengambil keputusan untuk mau mengasihi dan bersedia mengambil langkah konkret untuk membuktikannya?