ADA sepasang calon pengantin berasal dari dua keluarga dengan tingkat ekonomi sangat njomplang. Yang pria berasal dari keluarga cukup, sementara pihak perempuan dari keluarga sangat mapan dan berkecukupan.
Sebelum diadakan perkawinan, orangtua calon pengantin perempuan punya ide agar calon menantunya mau menandatangani surat perjanjian harta. Namun, ide itu ditolak.
Singkat cerita, perkawinan gerejani itu pun berlangsung. Namun, tak berapa lama, pengantin pria mengajukan gugatan cerai atas dasar tersinggung berat dengan surat perjanjian harta itu.
Semua menangis dan menangis. Pihak keluarga perempuan merasa terkejut dan tidak menduga kalau menantunya sampai nekat kebablasan karena tersinggung soal surat perjanjian harta. Sementara, pihak pengantin pria juga tak mau berbesan dengan pihak pengantin putri karena harga diri anak dan keluarganya telah dilecehkan hanya karena persoalan mencemaskan hartanya.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
Pengalaman hampir serupa sy saksikan. Pasangan Katolik (laki2) dan non katolik (perempuan) menikah secara non katolik dengan maksud agar setelah menikah langsung cerai. Inisiatif datang dr pihak perempuan (maaf sdh hamil duluan). Beberapa hari setelah menikah mereka “cerai” (tanpa resmi – hanya lewat pembicaraan kedua pengantin bukan melalui pengadilan). Sudah dikaruniai 1 anak. Setelah 5 tahun berlalu…sang pria ketemu dgn wanita idaman sesama katolik. Mau menikah secara katolik. Bagaimana dengan pernikahan sebelumnya? Apakah menjadi halangan utk menerima sakramen perkawinan?
Mohon bisa dikonsultasikan dengan Romo Purbo dan Romo Andang di KAJ.