[media-credit name=”Kolsani” align=”alignright” width=”600″][/media-credit]
[media-credit name=”Kolsani” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]
MENJADI imam butuh perjalanan amat-amat panjang. Setidaknya 7 tahun lamanya setelah lepas lulus dari seminari menengah. Maka tak heran, kalau orang pun lalu bertanya-tanya tentang sakramen imamat. Susah menjelaskannya, karena seorang katekis tahu bahwa dia sendiri bukanlah seorang imam (pastur).
Berikut ini, nukilan permenungan Uskup penahbis Mgr. Johannes Pujasumarta Pr tentang kisah seorang katekis ketika dia mencoba menerangkan makna dan apa serta bagaimana Sakramen Imamat itu kepada anak-anak yang belajar agama katolik.
Dulu surga dan dunia ini seperti satu, begitu kata Mgr. Pujasumarta, mengutip kebiasaan katekis mengajar agama tapi khususnya Sakramen Imamat kepada anak-anak. Kedua dunia itu – yakni surga di atas dan dunia di bawah – bisa terhubung karena ada anak-anak tangga. “ Anak-anak manusia dapat bergerak bebas naik turun, demikian juga para malaikat, bahkan Tuhan sendiri, kadang-kadang mengunjungi umat-Nya melalui anak tangga tersebut,” kata Monsinyur Puja bernarasi.
[media-credit name=”Kolsani” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]
Tetapi si Jahat bersikap tidak senang melihat kebebasan dan keakraban seperti itu. Maka pada suatu hari, si Jahat memotong tangga itu dan putuslah hubungan antara surga dan dunia. Singkat cerita, maka tak sampai hati Allah Bapa melihat anak-anak-Nya kehilangan sarana komunikasi itu.
Karena itulah, Bapa kemudian mengutus Yesus untuk menjadi Penghubung Baru. Yesus turun ke dunia. Dia tidak hanya menjadi tangga, Dia menjadi Penghubung itu sendiri.
“Sebagai Manusia, Yesus harus kembali ke Bapa, maka diciptakanlah Sakramen Imamat untuk terus menjaga agar hubungan antara surga dan dunia ini tetap berlangsung. Melalui Sakramen Imamat yang dimiliki para pastur, maka manusia tetap bisa bebas dan begerak naik-turun, membawaberkat dari Surga ke dunia dan menaikkan syukur dan puji kemuliaan kepada BapaNya,” terang Uskup penahbis.
Anak Tangga di Gereja Kotabaru
Menurut pengamatan Monsinyur Pujasumarta, di Gereja Paroki Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta, dimana acara tahbisan imam itu digelar sudah tersedia
anak-anak tangga itu. Tangga itulah yang menjadi penghubung antara dunia dan surga.
Merenungkan peran Gereja Kotabaru dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia, begitu Uskup Pujasumarta berkisah, dia lalu teringat kisah kupu-kupu dan pelukisnya sebagaimana pernah dinarasikan oleh Romo Gabriel Possenti Sindhunata SJ tentang ibunya setiap kali berkisah tentang Sam Pek Eng Tay.
“Di balik cerita ini sebenarnya tersimpan sebuah kisah lain, kisah tua dari China tentang cinta manusia yang tak pernah kesampaian. Diceritakan dalam kisah itu, musim semi adalah saat putri-putri China mengenakan kembali gaun tipisnya.”
“Seorang gadis menikmati keindahan musim semi. Sambil bersandar di jendela, ia melukis sepasang kupu-kupu. Tiap kali selesai melukis, lukisan itu jadi kupu-kupu sungguh. Dan kupu-kupu itu terbang meninggalkan kertasnya, berpasangan hinggap di bunga-bunga musim semi. Begitu seterusnya, tiap kali gadis itu selesai melukis, terbanglah kupu-kupu dari hadapannya, mereka selalu terbang sepasang-sepasang dengan sayapnya yang indah.”
“Begitu banyak pasangan kupu-kupu lahir dari tangannya, tapi sebaliknya si gadis itu tetap sendirian saja. Dan air matanya pun mengalir turun jatuh ke kertasnya. Gadis itu merasa, ia hanya sendiri, tanpa kekasih, kendati sekian ribu pasangan kupu-kupu lahir dari tangannya, berkasih-kasihan di musim semi. Lalu ia pun melukis kertas itu dengan air matanya. Mungkin karena itu ibu saya selalu terharu jika bercerita tentang Sam Pek Eng Ta.,”
[media-credit name=”Kolsani” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]
Demikian kata Monsinyur mengakhiri narasinya mengutip kisah Sam Pek Eng Tay sebagaimana sering didengar Romo GP Sindhunata SJ dari mamanya.
Menurut Monsinyur Pujasumarta, pada hari Rabu tanggal 27 Juli 2011 itu, persis di awal Abad ke-21 segenap umat kristiani yang hadir pada misa tahbisan itu menyaksikan, Gereja St. Antonius Kotabaru bak seorang gadis pelukis kupu-kupu itu. Begitu indah kupu-kupu itu dilukisnya. Dan pada saat yang tepat kupu-kupu itu meninggalkan kertasnya, untuk terbang hinggap di bunga-bunga musim semi Gereja Katolik Indonesia, untuk mengarungi peziarahan sejarah di dunia ini.
“Air matanya pun mengalir turun jatuh ke kertas, bukan karena sedih ditinggal sendirian, tetapi air mata haru karena merasa bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya, bahkan ia bersyukur karena boleh mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan. Semoga kepak sayap-sayap kupu-kupu itu menggerakkan dunia dengan kasih dan kegembiraan,” papar Monsinyur Pujasumarta Pr.
Kepada segenap para Yesuit, Monsinyur menyapa hangat, kegiatan para Yesuit mengarungi sejarah di dunia fana ini masih relevan teringkas dalam sesanti yang berbunyi Ad Maiorem Dei Gloriam – Amrih Mulya Dalem Gusti. Terpujilah nama Tuhan. (Selesai)
Mathias Hariyadi, penulis dan anggota Redaksi Sesawi.Net
Sumber: http://pujasumarta.multiply.com
Photo credit: www.kolsani.provindo.org