Katolik dan Tradisi  Syawalan di Warak, Sleman DIY

0
557 views
Suasana acara Syawalan di salah satu gang di Padukuhan Warak Kidul (Dius)

SYAWWAL adalah nama bulan dalam sstem Kalender Islam setelah Bulan Ramadhan.

Biasanya syawalan ini diadakan 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Sedangkan sebagai tradisi yang tiap tahun dilaksanakan setiap warga Warak di Sleman DIY, momentum ini juga dimaknai sebagai kesempatan untuk merayakan dino badha atau halal bihalal.

Silahturami dengan saling memohon maaf-memaafkanyang nyaris dirayakan oleh tiap orang.

Di Pulau Jawa -bahkan mungkin di seluruh kawasan Indonesia- Syawalan mungkin memiliki makna tradisi berbeda di setiap tempat.

Tahun ini, sholat Idul Fitri dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2022. Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran menjadi hal yang dinantikan tidak hanya warga Muslim, namun juga beberapa warga non Islam di Indonesia.

Begitu yang terjadi di Padukuhan Warak, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta.

Perayaan Lebaran dengan semangat ke-Katolik-an dibuktikan dengan adanya tradisi Syawalan tiap tahun.

Setidaknya diadakan lagi tahun ini, setelah dua tahun terakhir ini tidak diadakan, karena pandemi Covid-19.

Perayaan tradisi Syawalan  atau halal bihalal ini diadakan dengan isian tausyah atau ceramah dari tokoh-tokoh agama yang ada di Warak.

Dengan tema “Nguripi Bumi Warak; Tradisi Syawalan Ngendahake Paseduluran” sebagai pesan bahwa Syawalan agar dimaknai tiap warga Warak Kidul.

Tahun ini, Syawalan diawali sambutan oleh Drs. Basuki – tokoh Islam dan Imam Masjid Ainul Hikmah Warak Kidul.

Drs. Basuki saat pengantarnya di acara Syawalan Nguripi Bumi Warak (Dius)

Dalam pengantarnya Drs. Basuki menyampaikan sebagai berikut.

“… Sebagai warga yang baik, kesempatan Idul Fitri kali ini mengingatkan kita untuk melaksanakan tiga hal penting sebagai manusia.

  • Pertama, sembahlah Allah karenaNya kita hidup dan menikmati kehidupan ini dengan segala ciptaan-Nya.
  • Kedua, berbuatlah bagi sesama, sebagai mahkluk sosial kita perlu, harus memberi, membantu lingkungan kita.
  • Ketiga, menebarkan salam, warga muslim sering membuka salam dengan ‘Assalammualaikum Warahhmatulahi Wabarakatu’ tapi tadi yang membuka acara dan pengisinya orang non Muslim mengucapkan kalimat itu. Artinya salam ini sebagai perengkuh paseduluran. Paseduluran antar warga ‘masio beda agamane nanging tetep paseduluran’. Ini yang membangun kerukunan di antara kita.”

Acara Syawalan ini menjadi semakin menarik dan berbeda karena dihadiri juga seorang tokoh Katolik: Romo Christophorus Tri W Djati Nugroho Pr – imam Gereja Katolik.

Romo Tri W. Djati Nugroho Pr saat ini menjabat pastor Paroki Gereja Santo Petrus Warak.

Dalam sambutannya, Romo Djati menyampaikan perkenalan dirinya sebagai gembala Gereja Paroki Santo Petrus Warak yang sudah tinggal di Pastoran Warak sejak dua tahun lalu.

Namun baru tahun ini, kata dia, baru bisa memperkenalkan diri di lingkungan Warak sejak terjadi pandemi Covid-19.

Romo Djati menyampaikan ucap sapa dan salam perkenalan atas kehadirannya di Warak. Juga menyampaikan perkembangan Gereja di Warak yang saat ini sudah menjadi paroki dan terus berusaha memberikan pelayanan ibadah bagi umat Katolik.

Perkenalan Romo Christophorus Tri W.Djati Nugroho, Pr. (Petrus Susanto)

Secara sekilas dalam penyampaiannya mendukung dan memberikan apresiasi atas kerukunan dan upaya pembangunan tradisi terutama tradisi Syawalan ini.

Kemudian ceramah dilanjutkan oleh Budi Windarto S.Pd – tokoh agama Katolik. Dalam ceramahnya, Budi Windarto mengatakan bahwa pentingnya upaya menanamkan semangat mengembangkan tradisi.

“… Tradisi merupakan awal untuk kita bisa ngendahake paseduluran di Warak. Ini penting bagi kita terutama kaum muda untuk terlibat dalam setiap aktivitas hidup di Warak…

Di Warak sendiri sudah ada hal baik dengan adanya teman-teman muda Katolik yang selalu setiap tahun menjaga parkir saat sholat Idul Fitri dan Idul Ada.

Begitu juga dengan teman-teman muda Islam yang membantu parkir saat ada misa Natal dan Paskah. Ini adalah modal yang baik untuk kerukunan di Warak.”

Demikian kata Budi Windarto.

Hal ini disampaikan atas renungan dan setiap upaya aksi yang di-galak-kan bahwa tradisi/kesenian dan budaya adalah langkah tepat untuk membentuk karakter dan pola hidup setiap orang secara khusus warga Warak yang plural.

Ini nampak terkait dan selaras dengan dekrit Konsili Vatikan II yang diadakan setelah konsili-konsili lainnya saat Gereja terjebak dalam perpecahan dan ambisi kekuasaan.

Konsili Vatikan II merupakan dobrakan Gereja (dalam hal ini Katolik) yang paling terasa, mengenai pembaruan liturgi.

Seperti yang tertulis dalam buku Katolik Itu Apa? karya Romo Franz-Magnis Suseno SJ.

 “… Tujuan pembaruan itu adalah agar umat terlibat dalam liturgi dan bukan hanya segelintir orang (mereka yang bisa bahasa latin). … Selain bahasa latin, boleh juga dipakai bahasa setempat.

Selain itu, ‘…Konsili mendesak agar bentuk-bentuk misa dan sakramen diwujudkan sedemikian rupa sehingga makna universal mereka dapat dihayati dalam budaya-budaya yang begitu berbeda di dunia.”

Jadi jelas dinyatakan bahwa Gereja Katolik tentu mengedepankan upaya pelestarian tradisi budaya sebagai wujud universal Gereja dan kehadiran roh Allah Tuhan kita dalam kehidupan sehari-hari.

Budi Windarto, S.Pd saat mengisi ceramah di acara Syawalan “Nguripi Bumi Warak” (Damasus Ferix)

Pada acara Syawalan, Budi Windarto memberi semangat agar setiap orang muda mulai mengenal kembali asal usul sejarah Warak.

Pada penutupannya, ia mengatakan.

 “… Saya mendapat informasi ya…, Kalo ini namanya Warak, sayang kalo kita sebagai warga Warak tidak tahu sejarah Warak. Kalau pun cari di internet saya tidak bisa menemukan sejarah Warak ya…

Saya pernah dengar bahwa di Ledok RT1 itu konon dulu tempat bermukim warak (Badak). Tapi saya mendapat informasi yang ditulis di majalah bahasa Belanda ya, De Locomotief namanya …  ada tulisan (artikel) Balada Pria Tertua di Jawa pada tahun 1938 ada yang bernama Kiai Warak…

Bayangkan… nah kalo ini bisa menjadi berkah kita bisa menggali siapa cikal bakal Kiai Warak ini… supaya rohnya mereka kita hidupi supaya menjadi khas ya…”

Dalam ceramahnya, penumbuhan minat pada tradisi budaya dikalangan muda nampak ingin sekali di-galak-kan. Sejarah istilah atau nama Warak sendiri merupakan hal yang menarik dan perlu dikaji lebih dalam.

Nama “Warak”

Setidaknya nama “warak” dapat dikaitkan dengan definisi-istilah warak sebagai hewan badak.

Namun dimungkinkan juga terkait dengan nama raja keempat Mataram Kuno setelah Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panaraban, Rakai Warak, dst…  yang tertulis dalam Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III.

Mengenai keterkaitan Padukuhan Warak dengan definisi hewan badan dan nama raja Kerajaan Medang (Mataram Kuno) sangat perlu ditinjau lebih historis dan ilmiah.

Namun dengan penggalian sejarah asal usul nama “warak” ini dapat menjadi tonggak pelestarian budaya dan nasionalisme. 

Penduduk Dusun Warak terdiri dari umat beragama, Katolik, Islam dan Kristen.

Berbicara jumlah penduduk dulu, umat pemeluk Katolik cenderung mayoritas di Warak.

Kini dengan semakin banyaknya pendatang dan banyak umat katolik yang pergi merantau perbandingan jumlah umat Katolik hampir berimbang dengan umat Islam.

Namun semangat pruralitas yang masih tersisa ini merupakan potensi mengembangkan kedamaian dan kerukunan.

Potensi pruralitas ini yang menjadi gaman warga Warak memelihara tradisi untuk menghadapi derasnya arus perubahan. Semoga setiap yang ada ini menginspirasi umat katolik untuk “berbuat” bagi lingkungan sekitar dengan semangat Katolik yang universal.

Sumber:

  1. Suseno, Franz-Magnis.,Katolik Itu Apa?, Yogyakarta: Kanisius, 2017.
  2. Maziyah, Siti, “Kondisi Jawa Tengah pada Abad VIII Sampai Abad XV M”, dalam “Humanika: Jurnal Ilmiah Kajian Humaniora, Vol 15, no. 9, Juni 2012.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here