Katolik Militan

0
618 views
Ilustrasi - Hidup serba sulit by Commrisk

SIAPAKAH kita, manusia? Sebuah kenyataan yang sungguh kompleks dan tidak dapat diramalkan.

Ada ragam usaha pengamatan, teori analitis dari segi tertentu, tetaplah ada misteri tak terselami.

Dari perspektif Kristiani, sebuah pertanyaannya adalah mengapa Allah mau bersusah payah dan berdarah-darah mencintai manusia?

Secara akal tak dapat dimengerti. Mengapa Allah jatuh cinta pada ciptaan-Nya? Akal tak bisa memahami, hanya bisa belajar mempercayai.

Itulah iman.

Iman lahir dari perjumpaan dengan Allah yang hidup. Ia memanggil kita; menyatakan kasih yang menuntun kita. Kasih-Nya dapat dipercaya untuk melindungi dan membangun kehidupan. Iman adalah terang kehidupan.

Dengan iman, kita dapat menjernihkan masa lalu; juga memberikan harapan dan kepastian untuk masa depan. Bagi kita, Kristuslah titik temu perjumpaan kita dengan Allah.

Bacaan dari Kis 5:17-26; Yoh. 3: 16-21.

Membangun persahabatan dengan-Nya

Jauh dari kota dan keramaian, ratusan saudara-saudari dari kawasan Indonesia Timur rela telah meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di tengah-tengah hutan sawit atau tambang batubara.

Kehadiran mereka dapat dikatakan menjadi “terang dalam kegelapan” dan “membentuk komunitas iman yakni Gereja”.

Gereja hadir di tempat terpencil.

Pertama kali saya berekaristi bersama mereka terjadi di daerah Gronggang, Kalsel. Di sana ada sekitar 150 orang. Kapel cukup ramai dan meriah terlebih pada malam Natal dan Pekan Suci.

Pada saat perusahaan Theiss putus kontrak dengan pengusaha nasional, umat mulai berkurang. Mereka lalu mencari pekerjaan di tempat lain.

Lalu, hanya tinggal tiga keluarga.

Keadaan ekonomi semakin parah. Mereka tetap bertahan.

“Tidak pergi ke tempat lain mencari pekerjaan?”

“Tidak Romo. Kami bertahan. Di sinilah awal kehidupan kami. Kami turut membangun Gereja. Kami telah menikmati kasih Allah.”

“Keadaan kan berbeda. Tidak ada pekerjaan. Theiss tutup,” kataku.

“Biarlah Romo. Tuhan akan melindungi, yang penting Gereja tidak ditinggal, kosong. Kami masih bisa bercocok tanam. Kendati air sulit, kami bisa makan seadanya. Walau tidak mencukupi, kami tetap menjaga Gereja.”

Hatiku gembira bercampur sedih.

Setiap ekaristi, hanya ada 5-7 orang yang hadir. Saya dapat membayangkan kehidupan mereka: kesulitan, tantangan, kesepian karena keterbatasan.

“Apa yang menyebabkan kalian tetap tinggal?”

“Biar Gereja tetap ada lah Mo. Kami telah alami kebaikan Allah selama ini. Kami datang tidak punya apa-apa. Sekarang kami punya rumah kecil dan tanah untuk bercocok tanam.”

Saya pun merasakan, apa artinya sendiri, terpencil. Apa artinya menggantungkan hidup hanya pada kebaikan Allah. Apa itu kekurangan keterbatasan.

Kalau bukan cinta akan Tuhan dan Gereja-Nya tentu akan say goodbye.

Saat air tidak ada, mereka menampung air hujan bahkan mengendapkan air kotor yang ada di sela-sela kebon sawit.

Bahkan pernah mengendapkan air di muara sungai air payau.

Janganlah bertanya tentang berapa kolekte yang dikumpulkan.

Mereka tidak mengamankan diri lewat “kepemilikan materi”. Justru karena keterbatasan dan tidak memiliki apa-apa mereka berani belajar percaya pada Firman Allah; menjaga Gereja tetap eksis.

Tuhan yang rela menjadi miskin mereka alami sendiri.

Mereka miskin, namun tetap menghadirkan Gereja .

Itulah kebangaan dan rasa haruku pada mereka. Aku meninggalkan mereka untuk menjalani pengutusan baru Cirebon, Jabar. Bdk Kis 5: 20. 

Di manakah misteri hidup itu?

Yesus berkata dan kita percaya, “Allah mengutus anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkan oleh Dia… Barangsiapa melakukan yang benar, Ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Tuhan.”, ay 17, 21.

Tuhan, jagai mereka.

Hidup kami bukan hitam atau putih bahkan kadang berjalan dalam keremangan, kegelapan. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here