SEBUT saja Elisa, seorang karyawati perusahaan swasta yang berlokasi di pusat Kota Jakarta. Elisa seharusnya bangga, selepas kuliah ia langsung mendapat pekerjaan yang baik.
Setidaknya itulah yang dikatakan ayah dan ibunya saat mengetahui bahwa anak perempuan semata wayang mereka ini sudah mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi, lain di mulut, lain di hati.
Sesungguhnya Elisa merasa sedih. Bukan, bukannya Elisa tidak bersyukur. Ia hanya belum siap keluar dari nyamannya bangku perkuliahan. Dunia kerja terasa begitu berbeda. Elisa merasa belum siap untuk menghadapi ‘politik’ kantor, bos yang galak, atau jam kerja yang nggak manusiawi.
Elisa sebenarnya ingin memulai usaha sendiri. Tapi jika ia langsung berwirausaha, apakah usahanya akan sukses dan bisa membuat kedua orangtuanya bangga? Bagaimana jika seandainya ternyata usaha itu tidak berjalan lancar? Tapi jika tidak mulai, kapan ia akan bisa mewujudkan keinginannya itu? Kata orang, inilah rasanya harus menelan buah simalakama bulat-bulat.
Kalau kata Raisa, ini serba salah. Pada akhirnya, inilah yang akhirnya membuat Elisa bertanya kepada Tuhan: Tuhan, apa benar yang aku lakukan sekarang?
Mungkin banyak dari kita yang berada dalam situasi yang sama seperti Elisa. Kita sering kali terlalu terikat dengan kekhawatiran yang kita buat sendiri, sehingga akhirnya akhirnya kita enggan untuk mengambil keputusan untuk diri kita.
Apalagi ketika kita dihadapkan dengan begitu banyak pilihan, atau malah tidak ada pilihan sama sekali, sehingga akhirnya kita menjadi bingung. Apakah langkah yang akan kita pilih ini benar? Apakah keputusan yang sudah diambil ini tepat?
Terkadang, rasa khawatir bisa menjadi sesuatu yang baik dalam hidup kita. Dalam ukuran yang cukup, kekhawatiran bisa membuat kita jadi lebih awas dan berhati-hati dalam bertindak. Tentunya kita tidak akan mengendarai kendaraan bermotor sendirian di malam hari, apalagi jika melewati tempat sepi.
Hal ini karena tentu saja kita mengetahui bahwa banyak risiko yang bisa terjadi, seperti resiko dirampok, dijambret, dan lain-lain. Akan tetapi, rasa khawatir yang berlebihan pada akhirnya hanya akan membuat kita hidup dalam ketakutan dan ketidakbahagiaan.
Yesus pernah bersabda, “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?
Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (Mat 6:25-26).
Lewat sabda-Nya ini, Yesus ingin menegaskan kepada bahwa kita tidak perlu cemas tentang masa depan. Apabila burung-burung di langit saja dipelihara oleh-Nya, maka kita anak-anak-Nya yang sangat Ia sayangi sudah pasti akan dipelihara, hari demi hari.
Kita hanya perlu percaya pada rencana dan rancangan-Nya.
Seringkali kita bukannya tidak percaya pada Tuhan, melainkan hanya tidak sabar menunggu. Kita terlalu terbiasa dengan hal-hal yang bersifat instan. Mi instan, kopi instan, serta semua layanan instan yang semakin menjamur di Ibukota. Kita jadi lupa, walaupun menyandang label instan, mie instan tetap saja butuh proses untuk bisa terhidang di depan kita. Pun adanya dengan diri kita sendiri.
Tuhan memiliki rencana atas hidup kita. Bukan sesuai dengan waktu kita, tetapi sesuai dengan waktu-Nya. Untuk menghasilkan sebuah pedang yang tajam dan berbentuk indah, sebuah besi harus dibakar, didinginkan, ditempa dengan palu, dan diasah dengan batu dalam waktu 3-6 bulan.
Selayaknya besi itu, kita pun butuh waktu dan proses untuk dapat menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, dan menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan.
Sebaiknya kita lebih banyak belajar untuk mensyukuri segala berkat yang telah Tuhan berikan di dalam hidup kita. Untuk orangtua yang menyayangi kita, teman-teman yang baik, pekerjaan yang menghasilkan, pendidikan yang masih bisa kita jalani, serta kesehatan yang masih dapat kita nikmati sampai hari ini.
Kadang, kita luput melihat berkat Tuhan karena kita terlalu fokus menunggu dan mengharapkan hal-hal yang kita anggap besar. Niscaya, dengan memenuhi hati kita dengan rasa syukur, kita akan merasakan damai sejahtera dan kebahagiaan.
Yesus dengan jelas mengatakan kepada kita, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh 14:27).
Yesus mengajak kita untuk selalu bertegar hati dan percaya bahwa damai yang Ia berikan dapat memudarkan kecemasan dan rasa takut kita.
Seperti tertulis pada Kitab Yeremia, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yer 29:11).
Semoga kita selalu menaruh pengharapan kepada Yesus Kristus, yang selalu memelihara kita.
PS: Naskah artikel ini dikerjakan bersama Mariana Dewi.