Kaum Muda Katolik Merajut Kebhinnekaan Indonesia

0
217 views

IKATAN Pelajar Katolik Temanggung (IPKT) Paroki Santo Petrus dan Paulus sebagai pelaksana telah menyelenggarakan kegiatan dialog dengan narasumber Romo Dr. Martinus Joko Lelono, Pr, M.Hum, pada Minggu, (19/3/2023) di Balai Keluarga gereja dengan judul “Kaum Muda Katolik Merajut Kebhinnekaan Indonesia”

Kegiatan tersebut merupakan hasil kolaborasi antara Timpel Kerasulan dan Kemasyarakatan dengan IPKT dan berhasil menarik 50 peserta yang terdiri dari siswa-siswi SMA/SMK Katolik.

Pada kesempatan ini, Romo Joko begitulah sapaan akrabnya, pertama-tama mengajak peserta untuk merefleksikan keadaan Indonesia saat ini.

Apakah yang menarik dari Indonesia?

Di sini interaksi Romo dan peserta semakin intens karena banyak tanggapan dari peserta, dari kebudayaannya yang beraneka ragam, suku yang banyak, ras yang bermacam-macam dan lainnya.

Setelah mengawali dengan refleksi awal tadi, Romo Joko Leono kemudian masuk ke materi kepada peserta dengan sub tema “Nasionalisme : Negeri Ini Kita Perjuangkan Bersama.”

“Sebagai generasi milenial, hendaknya kita selalu bisa mempertahankan seberapa bangganya kita akan Indonesia meski pada kenyataannya apabila kita dibandingkan dengan negara lain, kita selalu saja kurang begitu bangga dengan Indonesia, kenapa?

Karena minder, belum bisa bersaing dan faktor lainnya yang menjadikan generasi ini terkungkung dalam pikiran jeleknya,” ujar dosen di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, untuk mata kuliah Kajian Agama dan Dialog ini.

Disampaikan Romo Joko ketika nanti sampai di 2045 misalkan, generasi ini akan menjadi generasi yang paling produktif. 

Harapannya di usia produktif tersebut akan mencapai kemajuan bangsa Indonesia karena tentu saja dari setiap kita adalah agent of change dimana kita bisa membuktikan bahwa perubahan sekecil apapun yang dampaknya positif akan menjadi besar bila dipublikasikan dengan perbuatan nyata, paparnya.

“Indonesia sendiri merupakan salah satu negara terbesar di dunia, dari situ saja seharusnya kita bangga akan hal tersebut. Karena untuk pergi dari Sabang sampai Merauke saja contohnya harus ditempuh dalam sembilan jam perjalanan melalui pesawat, dan itu kita masih berada di wilayah Indonesia jika dibandingkan dengan Eropa kita menempuh sembilanjam perjalanan dengan pesawat kita sudah bisa berkeliling 33 negara di sana artinya Indonesia terbukti sangat luas,” kata Pastor Paroki St Mikael Pangkalan TNI AU Adisutjipto ini.

Dalam perjalanannya, kata Romo. kaum pribumi selalu direndahkan oleh bangsa asing karena kedudukannya, misalkan pada saat itu ada sistem tanam paksa atau cultuurstelsel di mana bangsa Indonesia di negerinya sendiri dipaksa untuk menanam komoditas ekspor untuk diserahkan kepada Belanda.

Mengapa penjajah Belanda pada saat itu dapat merendahkan kita padahal sebenarnya Belanda adalah negara yang kecil bahkan lebih kecil dari Pulau Jawa?

Karena rakyat kita dapat dengan mudahnya dipecah belah atau yang sering kita kenal sebagai politik devide et impera.

Pemecahan masih terjadi hingga sekarang, bila dulu dasar pemecahan berupa kerajaan-kerajaan pada zaman sekarang taktik pecah belah dilakukan dengan dasar keagamaan, ingatnya.

“Namun bukan berarti kita menyerah melainkan kita harus berjuang sekuat tenaga supaya tidak ada perpecahan yang didasari oleh agama. Dalam konteks ini kita perlu sadar akan sebuah perbuatan untuk Indonesia. Salah satu cara yang selalu diungkapkan oleh Keuskupan Agung Semarang ialah ‘Mari Kita Srawung.’

Srawung memiliki artian bergaul. Menjadi dekat dengan orang yang berbeda sehingga orang-orang itu tidak merasa bahwa kita adalah musuh atau kita tidak memiliki relasi dengan mereka,” paparnya.

Peran Generasi Muda

“Apabila Angkatan’45 itu mengangkat kemerdekaan, Angkatan’98 mengangkat permasalahan pada rezim Soeharto, lalu angkatan 2023 itu memiliki permasalahan apa?”

Begitulah kira-kira pertanyaan yang dilontarkan Romo Joko kepada peserta sebagai acuan mereka untuk diskusi singkat.

Kemudian sampailah pada titik dimana Romo menyimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi pasca reformasi ini adalah menyoal krisis identitas, yang identitas agamanya saja yang selalu diagungkan, perpecahan akibat konflik-konflik yang dibangun, imaginasi permusuhan, mayoritas dan minoritas.

‘Kita sebagai orang Katolik tidak boleh menyebut diri kami sebagai minoritas kenapa? Karena kita tidak dihitung atas dasar agama, ulasnya.

Dalam hal agama kita memang jumlahnya kecil tapi fakta yang terjadi adalah peminoritasan. Kita dibuat untuk mengakui bahwa kita itu minoritas sehingga kita merasa hak kita adalah nomor dua atau warga negara kelas dua padahal kita warga negara yang memiliki hak penuh sama dengan yang lain.

Dalam buku Romo Mangun Wijaya berjudul Gelora Hati Mangun Wijaya: Pilihan Hidup Seorang Katolik mengatakan dibalik kata minoritas maka ada dua konsekuensi.

Pertama kalian akan memiliki mental minder sehingga ketika harus berperan di depan masyarakat kita menjadi takut. Padahal politik merupakan salah satu cara untuk mengubah Indonesia.

“Yang kedua ialah lari dari tanggung jawab. Kita memilih mundur dari segala tugas dan tanggungjawab.”

Padahal Romo Sugiyopranoto pernah mengatakan bahwa “100% Katolik 100% Indonesia.” Kalian disebut menjadi warga Indonesia karena dua alasan yaitu ius soli dan ius sanguinis.

Jadi janganlah kita merasa minder karena pada dasarnya yang merangkap semua identitas adalah manusia. Bukan agama, negara dan yang lainnya. Kalian harus menjadi terang dan garam di tengah-tengah masyarakat. Apabila kalian tidak lagi asin apa gunanya selain dibuang dan diinjak-injak orang,” tegas Romo Joko.

Efek yang ditimbulkan dari permasalahan pasca reformasi tersebut adalah terjadinya kelas – kelas dalam masyarakat, perbedaan atas dasar identitas tertentu, kebebasan yang semakin dikurangi, dan perbedaan menjadi sumber dari segala permasalahan.

Romo Joko kemudian menarik pendapat peserta kembali dengan menanyakan, “Menurut kalian enak hidup di tahun mana? 1908, 1945, 1990an atau 2023?”

Jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini ialah jangan didramatisasi karena setiap angkatan memiliki medan juang dan pahlawan mereka sendiri,” kata Romo Joko.

Stevan dari SMAN 2 Temanggung berpendapat  sebagai pelajar Katolik, hendaknya berani menunjukkan jiwa katolik dan berani bermasyarakat luas dengan menularkan semangat cinta tanah air secara konkret.

“Dialog kebangsaan ini membuat semakin tergugah untuk kesadaran berbangsa dan juga semoga para pemuda tidak hanya OMK tetapi juga seluruh kalangan muda diseluruh Indonesia mampu untuk mempertahankan kedamaian di negeri ini,” tutur Stevan.

Ditambahkan Cantika dari SMAN 1 Temanggung bahwa jangan sampai sebagai kaum muda katolik menjadi pemecah belah keberagaman karena adanya perbedaan.

Paulina Liana Arta Susila sebagai ketua panitia mengapresiasi semangat kaum muda sekaligus berharap besar terhadap kaum muda agar semakin bangga menjadi bagian dari Indonesia, selain itu kaum muda juga sebenarnya wajib ikut ambil bagian dalam pembangunan masyarakat juga membawa terang bukan hanya untuk sesama katolik namun terlebih untuk Indonesia.

Dialog tersebut terlaksana dengan lancar dan penuh antusias dari peserta. Semoga dengan terjadinya kegiatan ini dapat mewujudkan harapan-harapan yang mendasari diadakannya kegiatan ini dengan tokoh penggerak utamanya adalah kaum muda gereja.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here