Rabu, 3 November 2021
Rm. 13:8-10.
Mzm.112:1-2.4-5.9.
Luk. 14:25-33
UNTUNG dan malang siapa yang tahu? Ketika kesulitan bahkan penderitaan mendera hidup kita, terasa bahwa hidup hanya berputar pada kemalangan yang akrab menimpa kita.
Namun di balik kemalangan itu kadang ada kisah lanjutan yang menunjukkan bahwa penderitaan yang menimpa kita tidak jelek-jelak amat. Karena berkat penderitaan itu muncul kehidupan dan harapan baru.
“Jalan yang berliku harus saya lalui, sebelum saya bisa memahami sedikit rencana Tuhan dalam hidupku,” kata seorang ibu.
“Saya menikah di usia belia, umur 19 tahun. Namun kebahagiaan hidup berkeluarga hanya berlangsung 10 tahun. Karena suamiku meninggal akibat sakit jantung,” lanjutnya.
“Di tahun itu, 1978, operasi jantung belum bisa terlaksana seperti sekarang ini. Selain biayanya yang sangat mahal, tetapi juga harus ke rumah sakit tertentu dengan antrian yang sangat panjang,” katanya.
“Saya sungguh berontak pada Tuhan, dan tidak tahu dari mana saya harus menghidupi dua anakku dan membiayai sekolah mereka,” lanjutnya.
“Saya hanyalah ibu rumahtangga dan suamiku lah yang menjadi tulang punggung kepergiaannya membuatku bingung,” lanjutnya.
“Tabungan yang ada hampir habis untuk biaya berobat suamiku,” ujarnya.
“Hingga suatu hari saya ke sekolah anakku untuk minta keringanan biaya sekolah kepada suster kepala. Namun siapa sangka, karena saat itulah menjadi pintu kemurahan Tuhan bagiku dan anak-anak,” ujarnya.
“Suster memberi keringanan biaya anakku. bahkan menawariku pekerjaan di kantin sekolah yang kebetulan kosong,”lanjutnya
“Mulai saat itulah kehidupan kami bisa berjalan baik, anak bisa sekolah, dan saya juga bisa punya penghasilan tetap,” katanya
“Dalam keheningan sering muncul rasa bersyukur bahwa di balik penderitaan, kehilangan suami, Tuhan membimbingku untuk bisa bertanggungjawab atas hidupku dan hidup anak-anakku,” ujarnya.
“Sebagai warga gereja, saya ikut kegiatan Santa Monica, waktu itu saya tercatat sebagai janda termuda,” katanya.
“Di situlah matahati saya terbuka atas karya Tuhan kepada kami sekeluarga. Santa Monica saja berdoa selama 30 tahun baru doanya dikabulkan, sedangkan kepada saya, Tuhan mengabulkan doa kami tidak hitungan tahun,” ujarnya.
“Ikut Tuhan itu tidak mudah. Apalagi saya sebagai janda yang masih muda waktu itu, namun ketika kita setia dengan Tuhan, Tuhan memberi kekuatan untuk mengatasi godaan dan ujian hidup ini,” katanya
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Kalau kita mau menjadi murid Yesus ada beban yang harus kita pikul, ada konsekuensi yang harus kita pikul, ada resiko yang harus kita pikul, ada tanggungjawab yang harus kita pikul.
Tanggungjawab itulah yang disebut sebagai salib.
Ketika kita mau mengikut Yesus, Dia meletakkan salib di atas pundak kita untuk kita pikul sebagai harga yang harus kita bayar.
Salib yang dimiliki oleh setiap orang wujudnya berbeda-beda, tetapi hakikatnya sama. Menanggung derita dengan setia demi kemuridan kita pada Tuhan.
Bagimana dengan diriku?
Apakah aku berani mengambil bagian dalam salib kehidupan ini sebagai wujud kesetiaanku padaTuhan?