Renungan Harian
Kamis, 9 Juni 2022
Bacaan I: 1Raj. 18: 41-46
Injil: Mat. 5: 20-26
SAYA ingat pengalaman sewaktu saya masih SD. Suatu hari Minggu, sebagaimana kebiasaan keluarga, kami semua akan ke gereja.
Malam sebelumnya, ibu sudah mengingatkan kami agar kami cepat tidur sehingga besok pagi dapat bangun pagi-pagi, karena kami semua harus ke gereja. Ibu mengingatkan kami sembari menyiapkan pakaian yang akan kami pakai untuk ke gereja.
Pada hari Minggu itu, kami semua dibangunkan pagi-pagi dan diminta untuk segera mandi. Maklum kamar mandi hanya satu, sehingga harus antri.
Saya pagi itu rasanya masih mengantuk dan malas untuk bangun pagi, apalagi udara cukup dingin. Saya merasa enggan untuk segera mandi, karena terbayang dinginnya air di bak mandi.
Pada saat yang sama adik saya juga masih malas-malasan sehingga kami berdua ribut agar bukan saya yang mandi terlebih dahulu. Saya mengatakan adik yang seharusnya lebih dahulu, dan adik mengatakan bahwa saya yang seharusnya lebih dahulu.
Keributan itu menjadi agak besar karena d iantara kami tidak ada yang mau mengalah. Kami ribut saling mendorong sehingga adik jatuh dan menangis. Akibatnya, ibu menjadi marah.
Kami berdua dimarahi karena keributan dan terlebih karena kemalasan kami. Ibu merasa seharusnya hal itu tidak terjadi karena sudah diingatkan malam sebelumnya.
Akhirnya kami berdua mandi dan siap untuk pergi ke gereja, tetapi bapak melarang kami berdua pergi ke gereja.
Kami berdua diminta untuk berdoa rosario berdua di rumah dan tidak boleh pergi ke gereja maupun keluar rumah sampai bapak ibu dan adik-adik yang lain pulang dari gereja.
Kami berdua saling menyalahkan atas hukuman yang kami terima; namun kami berdua tetap berdoa rosario sebagai hukuman.
Pada saat mereka semua sudah pulang gereja, kami berdua dipanggil bapak dan ditanya apakah kami tahu mengapa dihukum.
Saya menjawab bahwa kami dihukum karena ribut.
Bapak menjelaskan bahwa kami berdua tidak pantas ke gereja karena ribut, marah satu sama lain.
Menurut bapak orang yang mau ke gereja itu harus damai dan gembira tidak boleh karena terpaksa, marah, atau jengkel.
Kami berdua telah ribut, marah dan tidak damai dan bahkan kami berdua membuat ibu marah yang mengakibatkan ibu juga tidak damai.
Bapak menegaskan bahwa kami semua ke gereja bersama karena kami semua senang, damai dan rukun sehingga kami menggembirakan hati Tuhan.
Pengalaman sederhana pada saat masih kecil menyadarkan bahwa sedari kami kecil sudah dididik agar dalam praktik-praktik kehidupan kekatolikan dan itu sungguh-sungguh kami lakukan dengan sadar dan penuh kegembiraan.
Melakukan dengan kejujuran bukan dengan kepura-puraan hanya untuk sekedar mendapatkan pujian.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius Yesus mengkritik praktek kehidupan beragama hanya sebagai kedok.
“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kalian tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”