BERADA di kampung ini mengingatkan saya pada sebagian masa kecil yang saya alami. Anak-anak kecil bermain bersama tanpa gadget. Kebetulan waktu saya berada di kampung Parauka ini, anak-anak sekolah sedang libur sehingga saya dapat melihat bagaimana dinamika hidup anak-anak di sini.
Beberapa anak laki-laki membawa ketapel yamg dikalungkan pada leher mereka. Nampaknya mereka juga suka berburu. Mereka selalu membawa ketapel itu pergi kemana-mana. Bahkan saat di gereja, ada beberapa anak yang masih membawa ketapel itu.
Baca juga:
- Pastoral di Pedalaman Stasi Progo, Keuskupan Timika: Misa Minggu Palma tapi pada Hari Senin (3)
- Porauka, Kampung Masyarakat Pesisir di Paroki Kokonau, Keuskupan Timika, Papua (4)
Siang hari di pinggir jalan, anak-anak berkumpul dengan permainan kelereng. Mereka saling adu ketangkasan untuk mendapatkan kelereng. Ini pun mengingatkan saya pada masa kecil saya yang hampir setiap pulang sekolah langsung pergi bermain kelereng dengan teman-teman sebaya.
Permainan lain yang mereka lakukan adalah mendayung sampan di sungai. Hal ini yang tidak pernah saya lakukan sewaktu kecil karena memang kampung saya jauh dari sungai besar. Sebab itulah saya hanya bisa berenang dengan gaya batu. Nyemplung ke dasar…
Kembali ke anak-anak tadi, saya kagum dengan anak-anak yang sudah pandai mendayung sampan dan berenang. Keceriaan sungguh nampak dalam raut wajah mereka.
Masih satu lagi permainan yang dilakukan anak-anak. Setiap sore, mereka datang ke lapangan sekolah bermain bola bersama. Laki-laki dan perempuan berbaur untuk bermain bola. Hampir tak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tenaganya sama saja. Mungkin inilah yang membuat Persipura punya klub kuat di pesepakbolaan Indonesia.
Mereka punya tenaga kuat yang sudah terasah sejak dini.
Ah.. . saya menjadi rindu akan masa-masa dulu sekali sama seperti itu.
Suasana diskotik di malam hari
Satu lagi keunikan kampung ini. Penerangan kampung tidak berasal dari PLN karena memang belum masuk di kampung ini. Tetapi ada dua diesel yang disediakan oleh pemerintah sebagai pembamgkit listrik untuk setiap rumah di kampung. Diesel itu akan dihidupkan mulai pukul 18.30 sampai pukul 22.00 WIT. Maka bisa dibayangkan bagaimana daya listrik yang bisa dipakai oleh setiap rumah dengan jumlah diesel yang terbatas.
Setiap kali diesel mulai dihidupkan, ada masyarakat yang mulai menghidupkan tape dengan salon atau speaker yang cukup besar sehingga bisa terdengar di seluruh kampung. Tidak hanya satu keluarga yang punya tape dan salon. Sementara itu daya listrik untuk lampu sangat terbatas.
Akibatnya lampu menjadi berkedip-kedip. Lengkaplah sudah bila kedua hal ini dipadukan. Setiap malam Anda akan menikmati suasana disko di kampung ini.
Dekat dengan alam
Meski dari segi pendidikan formal masyarakat di kampung ini bisa dikatakan tertinggal, akan tetapi mereka punya kemampuan yang tak bisa diperoleh dari pendidikan formal. Hidup mereka dekat dengan alam, khususnya lautan. Mereka bisa membaca bagaimana situasi lautan, apakah berbahaya untuk dilalui atau berbahaya, hanya dengan melihat gerak angin, awan atau mendengar suara ombak.
Sebab itu pula saya kadang berkata sembari bergurau pada motoris yang menghantar saya: “Om, saya pokoknya ikut apa kata Om Sius. Hidup-mati saya tergantung pada Om Sius.”
Om Sius pun hanya tertawa.
Ini hanya catatan kecil yang saya tangkap. Tentu masih begitu banyak kearifan-kearifan lokal yang masyarakat miliki yang belum mampu saya tangkap dan lihat.
Akhirnya selamat memasuki Tri Hari Suci. Beberapa hari ke depan tentu masih ada pengalaman baru yang akan saya alami. Dan tentunya akan saya bagikan untuk Anda.
PS: Istilah ‘masyarakat’ yang beberapa kali saya pakai dalam catatan ini bisa diartikan sebagai ‘orang/pribadi’ ataupun ‘penduduk/umat’.