UTAS ringan.
Ketika dokter visit saya pada hari Sabtu siang, beliau mengatakan bahwa saya akan dioperasi pada hari Senin pukul 2 siang. Tidak perlu diceritakan apa yang saya rasakan, ketika harus menunggu sejak Jumat malam sampai Senin siang dalam keadaan sejumlah tulang patah di beberapa tempat.
Praktis sejak masuk rumah sakit, saya tidak mau makan, atau kalau makan hanya satu atau dua suap saja. Saya takut bagaimana nanti kalau saya harus BAB dalam keadaan seperti ini.
Untung saja saya terus mendapatkan infus sejak masuk rumah sakit, di samping penis sudah dipasangi kateter, ada selang oksigen di hidung, dan dada saya dipasangi monitor EKG serta saturasi oksigen.
Rupanya ada bagian dari monitor itu yang sudah rusak, sehingga alat EKG itu tidak bisa melakukan pengecekan tekanan darah secara berkala dan harus dilakukan secara manual.
Kelak di ICU, alatnya bagus, sehingga setiap beberapa menit ada pompa yg melingkari kaki saya memantau kondisi tekanan darah.
Sejak Senin pagi, saya sudah harus berpuasa. Terakhir saya boleh minum delapan jam sebelum pukul 14 siang. Setelah itu ,hanya bisa menunggu dengan berbagai perasaan yg tidak bisa dilukiskan.
Lima meja operasi
Operasi besar itu seperti sebuah gerbang. Semua pasien yang masuk ruang OK dan ICU pasti akan keluar, hanya dengan dua kemungkinan: ‘lewat’, atau berpeluang sembuh.
Menjelang saat operasi, bed saya didorong ke ruang OK, kemudian dipindahkan ke bed OK. Jangan tanya seperti apa rasanya pemindahan itu. Bahkan meskipun selama ini saya selalu mendapatkan antibiotik dan obat anti nyeri, tetap saja tidak nyaman.
Konon kata perawat, di ruang OK itu ada lima meja operasi. Sesampai meja operasi yang diperuntukkan bagi saya, sekali lagi saya dipindahkan. Celana pendek dan celana dalam yang saya kenakan sejak kecelakaan sampai saat ini masih menempel, dan itu pun dilepaskan, kini saya telanjang bulat.
Tidak lama kemudian, datang dokter anestesi.
Beliau menyapa, “Masih ingat saya? Saya Budi”. Tentu saja saya ingat, dan saya menyahut, “Ya, dokter anestesi”.
Kemudian dia sedikit bertanya tentang pekerjaan saya, namun belum sempa saya menjawab, beliau sudah mengatakan bahwa perawat sudah menyuntikkan obat penenang ke dalam selang infus saya.
Sembari itu, dokter Budi memegang masker sambil bilang ke saya, ‘Dicoba pakai masker ya?’
Saya mengangguk. Masker ditempelkan sebentar. Kemudian dokter bilang lagi, ‘Ah, kurang pas, coba sekali lagi”.
Maka sekali lagi masker gas itu ditempelkan ke hidung saya dan sejak itu saya tidak ingat apa pun sama sekali.
Near awakening experience
Beberapa jam kemudian, saya mulai tersadar. Saya bukan orang suci atau punya kemampuan psikologis luar biasa sehingga mengalami apa yg disebut NDE (near death experience).
Namun apa yg saya alami barang kali lebih tepat kalau disebut sebagai ‘near awakening experience’.
Saya merasa seperti dibawa melalui sebuah labirin ruang-ruang berdinding putih, di mana di setiap tempat terdapat mesin-mesin yang canggih. Mungkin bukan seperti mesin-mesin produksi, melainkan lebih menyerupai mesin-mesin komputer raksasa atau minimal bentuknya seperti mesin pencetak foto yang ada di toko penyedia layanan percetakan foto itu.
Mesin-mesin itu berbeda ukuran dan bentuknya, tapi semua berputar dan terus bekerja. Ketika saya melalui mesin-mesin itu, seakan masing-masing dari mereka mau meraih saya, dan setiap kali saya berhasil melepaskan dari upaya tangkapan mereka.
Saya tidak mau dimasukkan ke dalam mesin itu, karena kalau ada yg bisa ditangkap oleh mesin-mesin itu, pasti hasilnya akan menjadi seperti pasta berwarna pink yang lebih menyerupai adonan ‘bubble gum’.
Saya tidak mau ditarik mesin-mesin itu, dan akhirnya saya membuka mata dan merasa seperti berada dalam sebuah gudang dengan beberapa onggokan alat-alat. Ternyata itulah bilik ICU saya.
Karena kondisi saya dinyatakan cukup bagus, saya tidak perlu dibantu dengan pernafasan buatan. Cukup dengan infus, selang oksigen, dan monitor EKG.
Yang saya ingat adalah saya berucap, ‘Aku di mana ini? Aku tidak mau masuk ke mesin-mesin itu!’
Isteri saya yg ternyata sudah beberapa lama di samping saya menepuk, ‘Hei, hei, kamu baik-baik saja!’
Saya terus bilang, ‘Bener aku masih hidup ya?’
Isteri saya menjawab, ‘Kamu sudah sadar. Brigitta (anak saya) juga ada)’.
Anak lelaki saya sudah pulang, karena esoknya masih harus bekerja. Maka saya terus bilang, ‘Tolong panggilin Brig’.
Begitu sampai saya terus bilang, ‘Brig, tolong aku dicium supaya aku sadar kalau masih hidup’.
Anak perempuan saya mencium muka saya, dan saya pun yakin bahwa masih hidup.
Saya ‘tidak lewat’ di ruang OK, dan masih ada peluang untuk ‘tidak lewat’ dari ruang ICU ini.
Isteri saya juga memberitahu bahwa saya akan ditempatkan di ruang ICU ini antara 1 – 2 kali 24 jam.
Esok paginya, setelah tubuh saya ‘dilap’, datang sarapan. Saya tidak mau makan. Tidak lama kemudian perawat bilang bahwa saya harus makan supaya bisa sembuh.
Jangan takut kalau tidak bisa BAB, karena akan dibantu dengan obat. Dengan disuapi isteri, saya pun makan, karena saya yakin bahwa saya membutuhkan asupan untuk bisa sembuh kembali.
Menjelang 24 jam setelah operasi, dokter mengatakan bahwa kondisi saya baik, sehingga tidak perlu berada di ICU selama 2 x 24 jam, cukup 1 x 24 jam saja. Malah sebenarnya tidak utuh 24 jam.
Maka saya pun dipindahkan lagi ke ruang perawatan, dan merasakan lagi dipindahkan dari bed ICU ke bed perawatan. Terasa mengganjal sana-sini karena ada perban, dan ternyata di punggung saya dipasangi selang WSD untuk membuang darah yg ada di rongga paru-paru.
Sebelumnya, di ruang ICU saya sempat ingat ketika perawat mengganti tandon cairan yang keluar dari rongga paru-paru saya itu. Tercatat ada 650 ml.
Pernah sebelumnya dikatakan bahwa kalau saya banyak kehilangan darah, saya harus ditransfusi.
Namun ternyata darah yang hilang tidak mengharuskan saya ditransfusi.
Mulailah kini periode di kamar perawatan. Saya mulai makan. Pengaruh obat bius masih cukup kuat sehingga saya relatif banyak tertidur. Saya mulai dipasangi dengan ‘diaper’. Saya melihat bahwa selain selang infus yang secara berkala disuntik dengan antibiotika, ke dalam selang infus saya masih juga dimasukkan obat penahan nyeri yg dipasok dengan sebuah alat elektronik, kata perawat, itu untuk menyuntikkan morfin.
Namun setelah beberapa lama, mulai tampak ruam-ruam di sekitar wajah dan leher saya. Bahkan di belakang dan dalam telinga terasa basah oleh cairan dari ruam-ruam itu.
Pada saat dokter melakukan visit, saya menyampaikannya dan mohon agar pemberian morfin itu dihentikan, dan dikabulkan.
Maka saya kembali diberi obat pereda nyeri seperti sebelumnya.
Ketika pengaruh obat bius mulai surut, mulailah saya tidak bisa tidur semalaman. Esok harinya saya sampaikan itu kepada perawat dan disarankan agar saya minta obat tidur.
Maka pada malam harinya saya minta obat tidur dan bisa tertidur cukup lama.
Setiap hari cairan yang keluar melalui selang WSD dipantau, dan ternyata setelah dua hari, jumlah darah yang keluar sudah minimal tapi masih dipantau.
Jangan tanya sakitnya ada benda yg masuk ke rongga paru-paru saya. Bergerak sedikit saja rasanya ‘sengkrang’. Bahkan sampai saat ini kadang masih terasa ‘sengkrang’ itu ketika saya terbatuk atau cegukan.
Dan jangan lupa, selang WSD itu ditancapkan di punggung sehingga mengganjal punggung selain ganjalan perban serta pen-pen penyambung tulang.
Suatu kejutan terjadi ketika seorang teman sesama kuliah dulu datang menjenguk, padahal tidak ada seorang pun yngg memberi tahu peristiwa yang saya alami ini.
Sejauh ini, isteri saya hanya memberitahu beberapa teman SMA saya selain tentu sanak kerabat saja. Dan ternyata teman kuliah ini mendapatkan pemberitahuan dari teman SMA yang entah bagaimana bisa sampai di kelompok teman-teman kuliah.
Setelah beberapa hari makan dan sudah hampir sepekan saya tidak bisa BAB, saya minta obat pencahar.
Sore hari obat pencahar dimasukkan ke dalam anus. Dan ternyata tengah malam saya BAB di diaper sekitar tengah malam.
Beberapa teman kuliah datang menjenguk, namun karena masih diberlakukan ‘prokes’, hanya boleh maksimal untuk satu kali kesempatan tiga orang yang datang.
Tidak lama kemudian, dokter visit, dan menyatakan bahwa selang WSD saya bisa dilepaskan. Maka dengan dibantu perawat selang WSD itu dilepaskan dan lobangnya diikat dengan benang jahit.
Berkurang ganjalan di punggung saya. Selain itu ada kabar baik lainnya, saya diperbolehkan keluar dari rumah sakit esok harinya.
Saya pikir, pagi-pagi saya sudah bisa langsung pulang begitu saja. Ternyata proses administrasi boleh dikata sangat lama. Harus ditotal dulu segala pemakaian dan layanan yang saya terima, diajukan untuk mendapatkan persetujuan dari BPJS untuk menutup kekurangan biaya yang melebihi pagu yg diberikan oleh Jasa Raharja.
Adik saya datang dari Jakarta sejak agak siang karena dikira urusan bisa lekas selesai. Ternyata baru menjelang sore urusan administrasi selesai, dan ‘clear’ saya boleh pulang.
Maka selang infus saya dilepaskan, selang oksigen dilepaskan, dan selang kateter dilepaskan.
Saya disuruh belajar berdiri dulu setelah sekitar sepuluh hari tidak menyentuh lantai. Terasa pusing berkunang-kunang ketika pertama kalinya kaki menapak lagi ke lantai.
Dengan berpegangan pada pagar bed, saya mulai berusaha berdiri, melangkah selangkah demi selangkah, istirahat sejenak, melangkah lagi.
Begitu berulang-ulang. Dan ini proses yang lama.
Pertama kali hidup di atas kursi roda
Setelah semua beres, ada perawat yang membawa kursi roda.
Itulah pertama kalinya saya naik kursi roda, diantar dari ruang perawatan ke lobi rumah sakit, dan selanjutnya diantar naik mobil adik saya ke rumah.
Begitu masuk rumah, yang pertama saya lakukan adalah masuk ke toilet, dan BAB di kloset.
Benar-benar luar biasa rasanya bisa BAB secara biasa, bukan BAB di diaper sambil berbaring.
Ketika mengalami situasi seperti ini, pasti siapa pun akan tersadar, dan percayalah bahwa yang luar biasa dalam hidup itu adalah hal-hal sederhana, seperti sekadar bisa BAB secara normal.
Barangkali itulah pencerahan terbesar yg saya terima dari situasi ini. Mengalami peristiwa seperti ini dapat menyadarkan betapa makin pentingnya kita menghargai dan merayakan setiap hal kecil dalam hidup kita, hal sederhana seperti sekadar tersenyum, menjentikkan jari, kentut, BAB, menyaksikan matahari terbit, merasakan nyeri, dst.
Demikian juga setiap momen dalam hidup kita, setiap perjumpaan, setiap situasi, setiap peristiwa.
Percayalah, bahwa hal yang istimewa dalam hidup itu sesungguhnya adalah hal-hal yang paling sederhana, yang kerapkali dengan mudah kita abaikan begitu saja, karena begitu sederhana dan biasa saja.
Jangan pernah menyia-nyiakan segala hal yang sederhana, karena Anda baru tahu betapa berharganya hal yang sederhana itu, ketika hal yang biasa dan sederhana itu menjadi begitu istimewa dan luar biasa.
Masih jauh perjalanan untuk pulih seperti semula.
Mungkin juga tidak persis seperti semula, sudah cukup baik kalau mendekati kondisi semula.
Tapi setidaknya ada tahapan pemulihan, setapak demi setapak.
Marcx 23/11/2021