UTAS panjang
Beberapa waktu lalu ada kecelakaan yang menimpa artis. Saya ingin menulis soal itu, tapi belum kesampaian. Malah saya sendiri yang mengalami kecelakaan lalu-lintas pada tanggal 5 November 2021.
Tidak perlu saya ceritakan detilnya. Pokoknya serem.
Tanpa mengurangi rasa hormat, saya lompati saja cerita tentang tersedianya bantuan lewat Jasa Raharja, BPJS, bantuan dari sekian banyak pihak, berbagai teman, keluarga, dst, sehingga upaya medis pertolongan bisa terlaksana.
Saya berterimakasih atau lebih tepatnya berutang nyawa, atas segala perhatian dan bantuan semuanya.
Yang jelas, ini pengalaman pertama untuk banyak hal. Dan yang kedua, membawa banyak pemahamanan, tersambungnya sejumlah ‘missing link’ aneka pertanyaan, serta perubahan paradigma yang menyangkut aneka hal antara lain yang menyangkut tubuh, hidup, komunitas manusia, dst.
Ini yang pertama kali saya masuk IGD sebagai pasien, kemudian ditaruh di atas bed, diblelejeti, dirontgen, dipasangi selang oksigen, didorong ke ruang X-ray, dibawa ke ruang perawatan, dipasangi kateter, pertama kali air seni mengalir tanpa disadari masuk ke kantong kateter, dipasangi adult diaper, anus disodok dengan obat pencahar dan pup di diaper.
Serta pertama kali, saya merasa jadi seonggok puing manusia yang tak berdaya dan tak berguna.
Bayangkan saja, ketika anda harus ‘terikat’ di sebuah bed, di mana bernafas lewat selang oksigen, makan, minum, kencing, dan BAB di tempat yang sama tanpa bisa apa pun selain mengandalkan sepenuhnya bantuan orang lain. Bahkan kalau sekadar mau sedikit menggeser posisi tidur lantaran kulit punggung dan pantat terasa panas.
Tubuh fisik manusia
Peristiwa ini lantas seperti menyadarkan beberapa hal.
Pertama soal tubuh fisik.
Ternyata tubuh fisik kita bisa begitu ‘fragile’-nya. Hanya dengan sedikit ‘sentuhan’ tumbukan, tubuh bisa remuk, dan kita yang tadinya lincah perkasa bisa menjadi seonggok daging tanpa daya.
Segala kegagahan dan keperkasaan lantas musnah, manakala tubuh fisik kita remuk.
Anda boleh sebelumnya menjadi seorang yang luar biasa berkuasa, kaya raya, pintar, dst. Tapi ketika tubuh fisik kita tidak berfungsi, entah sebagian atau bahkan sepenuhnya, maka lantas punah juga segala kebanggaan itu.
Dan keberadaan kita sebagai manusia juga sangat tergantung pada tubuh fisik itu. Tanpa tubuh fisik, kita bukan manusia lagi.
Ketika tubuh fisik berhenti berfungsi, kita disebut mati.
Namun, kita saksikan pula betapa dengan tubuh fisik yang sangat ‘fragile’ itu, manusia juga bisa melakukan aneka hal yang luar biasa, dalam olah gerak, aneka akrobat, bahkan dengan tubuh fisik itu pula manusia bisa menjangkau kedalaman bumi dan ruang angkasa.
Barangkali tidak lama lagi manusia bisa menjelajah antar planet, antar tata surya, dan antar galaksi.
Di satu pihak kita menyadari ringkihnya tubuh fisik, namun di lain pihak kita mengakui potensi kehebatannya yang luar biasa.
Secara fisik, manusia bukan makhluk paling kuat, paling bisa lari cepat, paling tangkas, dst, tapi dengan kecerdasannya, manusia bisa menjadi makhluk yang merupakan puncak rantai makanan, dan predator bagi semua makhluk lainnya.
Tubuh fisik manusia merupakan sebuah unit yang lengkap.
Ada keunggulannya, bahwa satu unit itu bisa ke mana-mana sebagai kesatuan mandiri. Namun dengan kelemahan bahwa ketika salah satu bagian tubuh fisik itu tidak berfungsi dengan baik, bisa jadi seluruh unit dari individu yang disebut manusia itu juga tidak berfungsi lagi.
Unit tubuh fisik manusia sudah dilengkapi dengan reaktor pengolah asupan energi yang dipasok dalam bentuk makanan dan minuman. Namun juga mesti diikuti dengan fasilitas pembuangan limbahnya.
Barangkali suatu makhluk alien di ruang angkasa sana tidak lagi seperti tubuh manusia, di mana energi bisa di ‘charge’ secara otomatis dan mudah tanpa perlu direpotkan dengan fasilitas pengelolaan dan pembuangan limbahnya.
Ada begitu banyak dari kita manusia yang beruntung mendapatkan tubuh fisik yg relatif cukup baik, seperti yang saya nikmati selama ini. Namun banyak juga yang bahkan sejak usia sangat dini harus mendapatkan aneka bantuan dari luar.
Mungkin saja ‘lewat’
Ketika peristiwa itu terjadi, saya sudah pasrah.
Ada kemungkinan saya ‘lewat’, dan kalau itu terjadi, barangkali saya masih bisa bermanfaat bagi kemanusiaan dengan mendonasikan organ-organ tubuh saya maupun secara keseluruhan untuk praktik para calon dokter.
Eh, tapi terpikir juga, bahwa saya ini seorang penyintas dan pejuang. Sudah begitu banyak kesulitan yang saya hadapi selama ini, berarti ada pula peluang bahwa saya pun kali ini bisa ‘survive’.
Apa pun yg akan terjadi terjadilah. Namun berbagai pemeriksaan seperti kondisi jantung, metabolisme tubuh, darah, dst menunjukkan kondisi yang bagus sehingga pertolongan dilakukan.
Bersyukur
Lantas kesadaran saya melanglang menyinggung soal hidup. Probabilitas hidupnya individu yang disebut ‘saya’ ini barangkali hanya 1 dalam 400 milyar. Maka hanya sekadar keberuntungan saja bahwa ‘saya’ pernah menikmati hidup ini.
Hal ini menegaskan bahwa entah seperti apa pun hidup yang mungkin kita alami, ini sesuatu yang layak disyukuri, dirayakan.
Hidup sama sekali bukan untuk disesalkan, karena toh dengan apa pun yang kita alami, kita ini pernah ‘ada’.
Namun barangkali salah satu ‘revelation’ yg paling mencengangkan dan membahagiakan saya adalah kesadaran bahwa manusia itu suatu makhluk komunal. Survival manusia bisa terjadi karena sifat ke-komunal-an kita, di mana setiap individu memberi ‘kontribusi’ entah apa pun bentuknya dan seberapa pun besar/kecilnya.
Ketika dirawat ini, saya menyaksikan bagaimana dunia kedokteran dan sistem pengobatan ini mengalami pencapaian yang luar biasa. Saya membayangkan kalau peristiwa seperti ini terjadi pertengahan abad 20 saja, pasti akan berbeda.
Kini ada berbagai peralatan diagnostik yang mampu menyajikan berbagai kondisi seorang pasien sebelum dilakukannya berbagai tindakan terapeutik. Dengan dipelopori antara lain oleh Anthonie van Leeuwenhoek yang menciptakan mikroskop sederhana, kini tersedia berbagai alat diagnostik seperti X-Ray, USG, MRI, CT-Scan, dst, dan itu tentu merupakan andil para ‘engineer’.
Tapi berbagai proses ini juga difasilitasi oleh berbagai temuan di bidang lain. Coba bayangkan saja jaman ketika belum tersedia alat-alat sederhana yg mungkin kita sepelekan sehari-hari seperti tisu, betapa akan jauh lebih repotnya pertolongan terhadap seorang pasien.
Dunia kedokteran juga bisa maju karena dukungan ‘engineering’ dalam segala bidang, mulai dari perancangan rumah sakit yang baik, konstruksi bangunan yang bagus, aneka peralatan mekanikal yang canggih, dst.
Tapi juga itu semua bisa berlangsung karena ada mereka yang mengelola sumber daya manusia yg baik, mengelola ekonomi rumah sakit, dan juga para pemasok aneka kebutuhan.
Tidak lupa juga ini terselenggara karena ada peran pemerintah sehingga ada fasilitas seperti Jasa Raharja dan BPJS ini.
Inilah survival kita sebagai manusia yang merupakan buah dari kontribusi setiap individu yang tidak bisa diuraikan satu-demi-satu.
Kontribusi positif apa pun tidak akan sia-sia. Maka sesungguhnya ada suatu saling ketergantungan yang sangat luas, kompleks, dan rumit di antara seluruh individu manusia.
Tidak ada satu bagian pun yang bisa menyombongkan diri sebagai paling berjasa bagi survival manusia.
Manusia bisa survive karena kekomunalan itu.
Dua kemungkinan
Maka, ketika mengalami peristiwa ini, ada dua kemungkinan.
Kalau saya ‘lewat’, saya masih bisa memberikan manfaat yang berguna bagi kemanusiaan lewat ‘bekas’ tubuh saya. Namun kalau saya bisa survive, apa yang dapat saya lakukan demi kontribusi bagi kemanusiaan?
Untuk memberi kontribusi finansial, rasanya tidak mungkin saya lakukan dalam ukuran yang cukup signifikan. Paling banter hanya membantu kanan-kiri dalam takaran yang sangat tidak berarti.
Sejauh ini, saya hanya bisa memberikan kontribusi dengan kadang menulis pengalaman dengan tulisan-tulisan sekadarnya dan barangkali tidak bermutu. Namun dengan berpedoman bahwa tidak ada kontribusi yang sia-sia, itu tetap saya lakukan.
Kalau seandainya dari sekian banyak yang melihat judulnya, ada 1% yang mau membaca, itu sudah bagus. Bila dari 10% itu ada 0.1% yang merasakan manfaat tulisan saya, itu sudah lebih dari cukup.
Setidaknya memberi kontribusi itu sudah terjadi pada tataran niat dan niat itu dilaksanakan, meskipun presentasinya belum tentu seperti yang diharapkan.
Barangkali ada juga kontribusi lain yang bisa saya lakukan, yakni dengan mengurangi ‘kontribusi’ negatif.
Sangat sepele tampaknya, tapi tidak selalu mudah, karena banyak dari kita, termasuk saya, yang cenderung negatif.
Baiklah, ini juga salah satu peluang. Saya akan mengurangi pikiran negatif tentang apa pun.
Saya rasa itu sebuah kontribusi juga.
Bisa menikmati spotify
Selama dirawat di rumah sakit, tersedia banyak waktu bagi saya untuk hening dan berpikir, termasuk juga pertama kali menikmati Spotify secara kasual.
Saya suka musik, namun biasanya saya menikmati atau berpartisipasi dalam konteks yang agak serius. Namun kini, saya sekadar menikmatinya begitu saja, tanpa memikirkan berbagai macam hal, menjelajahi aneka genre, sampai yang terasa asing bagi saya, juga sampai menikmati karya-karya John Ruyter dan sajian Nordic Boyschoir.
Ini membawa menerawang kepada keusilan pikiran, ‘kenapa’ peristiwa seperti ini bisa terjadi.
Kalau saya bicara dengan teman-teman Bali saya, mereka tentu dengan mudah mengatakan ‘ini karma’, tapi tentu juga saya akan mengalami kesulitan mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Memang repotnya tentu tidak begitu saja saya bisa puas dengan penjelasan tentang ‘karma’ itu.
Tapi kalau saya berpikir dengan teori ‘probabilitas’, misalnya, seberapa orang memiliki kemungkinan mengalami kecelakaan, mungkin penjelasannya juga cuma ‘apes’.
Dengan demikian, sebenarnya tidak terlalu relevan mempersoalkan kenapa peristiwa ini terjadi. Itu bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Tidak ada sesuatu pun yang dapat memberi penjelasan secara pasti tentang ‘kenapa’-nya itu. Entah siapa pun Anda, kaya-miskin, tua-muda, pintar-bodoh, beriman-tak-beriman, dst., Semua bisa mengalaminya.
Kewaspadaan selalu sangat bermanfaat, namun di luar kewaspadaan itu tetap saja ada suatu ‘probabilitas’.
Probabilitas mengalami kecelakaan tentu bukan sesuatu yang enak dan diharapkan, tapi kehidupan kita pun juga sebenarnya hanyalah akibat dari suatu ‘probabilitas’.
Maka bisa menjadi pertanyaan reflektif apakah kenyataan bahwa kita sempat hidup menjadi suatu manusia ini suatu ‘keberuntungan’ atau ‘kecelakaan’?
Terus terang saya juga tidak bisa menjawabnya. Namun fakta bahwa saya berkesempatan hidup, bagi saya itu suatu keberuntungan. Sedangkan kecelakan lalu-lintas memang sesuatu yang tidak diharapkan, namun toh juga tetap terjadi.
Life must go on, hidup harus terus berlanjut, sampai akhirnya tubuh fisik ini berhenti berfungsi, dan kita kembali kepada ketiadaan.
Maka, sebelum sampai kepada ketiadaan itu (lagi), rayakan hidup ini, dan menggunakan hidup yang sekejap dalam hitungan waktu alam semesta ini secara nikmat dan bermanfaat bagi diri sendiri, maupun komunitas spesies kita.
Marcx 22/11/2021