TAK ada perusahaan dunia yang mencetak kisah sukses seheboh “Alibaba Group”. Konglomerasi multinasional yang merambah dan kondang dengan bisnis unggulan, e-commerce, eceran, internet, artificial intelligence, teknologi dan banyak bidang lainnya.
“Alibaba” identik dengan “sukses” itu sendiri.
Didirikan di kota Hangzhou, China tahun 1999, oleh Jack Ma Yun, saat ini “Alibaba” sudah menjadi “among the best companies” dunia dengan pendapatan bersih 9.8 M US dolar dan total aset 114 M dolar dan jumlah pegawai 80 ribu orang.
Siapa yang menjadi dalang dari kegemilangan ini? Dunia sepakat, dia adalah Jack Ma.
Keberhasilan “Alibaba” adalah ketokohan dan kehebatan Jack Ma. Gara-gara itu, Ma dijuluki “A Chinese business magnate”. Saat ini, Ma mengantongi kekayaan bersih sebesar 40.0 juta dollar. “Ma’s primary ideology was for an open and market driven economy”. (Wikipedia.org)
Kemeriahan “Alibaba” menggiring saya pada dugaan bahwa Jack Ma adalah manusia yang “sangat bisnis”. Darah dan tulangnya “hanya dan hanya” diwarnai target usaha dan profit. Pesan yang dikirim kepada anggota tim hanya untuk mengejar sesuatu yang bernilai dolar.
Ma, yang pernah melamar ke 30 pekerjaan berbeda dan ditolak semua, sejatinya tak mempunyai latar belakang bisnis. Ma “hanya” berpendidikan guru, tak heran bila menjadi satu-satunya yang ditolak oleh “Kentucky Fried Chicken”, dari 24 lamaran yang masuk.
Lantas, apa yang dimaksud dengan “kejutan Jack Ma”?. Jawabnya ada di video pendek saat Jack Ma berkhotbah tentang rahasia keberhasilannya.
Dugaan saya meleset jauh. Ternyata Jack Ma bukan semata-mata makhluk bisnis. Pesannya justru mengandung semangat kemanusiaan dan soft skill. Bukan keterampilan dan pengetahuan teknis yang menjadi kunci segalanya, melainkan “values, culture”.
“Yang dibutuhkan bukan ahli atau jagoan. Because, It’s not a competition of knowledge. It’s more a competition of wisdom. Didiklah anak-anak, anak-anak buah, orang-orang muda dan organisasi anda tentang imajinasi, agar kreativitas terus lahir. Dan kembangkan team work”.
Kejutan kedua. Mari kita simak tausiah Jack Ma dalam pertemuan tahunan IMF di Bali 2 minggu lalu. Pendapat Ma kembali nyleneh. Dalam merekrut pegawai, jangan pilih yang ahli. Hindari kandidat terbaik atau pakar di suatu bidang.
(Suara.com, 20 Oktober 2018 : 20:26)
“Saya tak suka merekrut pakar, karena tak ada pakar di masa depan. Mereka adalah (hanya) pakar di masa lalu”.
Jack Ma lebih suka memilih karyawan yang bukan lulusan terbaik, karena mudah frustasi menghadapi masalah dunia usaha. Yang diperlukan hanya satu, yakni kemampuan untuk bernavigasi dalam lingkungan bisnis yang terus bergejolak. (Duncan Clark, The House That Jack Ma Built, Washington Post, 2016).
Kejutan berikut. Jack Ma menilai sangat tinggi mereka yang penuh optimis. Manusia optimis mampu mengubah situasi sulit menjadi cerah. “Kalau anda pesimis, klar hidup anda”.
Itulah paradigma Jack Ma yang nampak “aneh”. Beberapa ahli menyebut pribadi Jack Ma yang dianggap ambigu itu justru yang membuat bisnisnya mencorong dan bertahan. “Businesses without strong values make performance easy to slightly decrease”.
Ada pesan tambahan bagi mereka yang sedang duduk di kursi pengambil keputusan di suatu organisasi atau masyarakat. Enam perusahaan Indonesia yang masuk dalam 500 perusahaan terbaik dunia versi Forbes, mempunyai resep yang persis sama. “Karyawan Menjadi Kunci”. (Kompas, 25 Oktober 2018).
“SDM adalah fokus strategi Bank Mandiri untuk membangun kapabilitas dalam bersaing jangka panjang. Pengembangan karier pegawai, kesempatan meraih jenjang karier, peluang berinovasi, dan kemampuan kepemimpinan menjadi perhatian kami”. (Kartika Wirjoatmojo, Dirut Bank Mandiri, salah satu dari 6 perusahaan di atas)