Psikolog Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Ferdinand Hindiarto menilai tindak kekerasan di kalangan pelajar terjadi akibat kurikulum pendidikan yang terlalu mementingkan aspek kognitif.
“Pelajar adalah kalangan muda yang memiliki energi besar, namun kurikulum pendidikan tidak mampu mengapresiasi kekuatan itu,” katanya di Semarang, Selasa, menanggapi kian maraknya aksi kekerasan di kalangan pelajar.
Kurikulum pendidikan di Indonesia, kata pengajar Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata itu, selama ini hanya memfokuskan pengembangan aspek kognitif, yakni melulu materi-materi pelajaran diajarkan.
Ia menjelaskan, energi pelajar yang besar itu seharusnya diapresiasi sekolah secara proporsional, misalnya menyalurkan bakat siswa di bidang-bidang lain, seperti kesenian, olahraga dan keterampilan.
“Kalau siswa hanya dituntut secara kognitif dalam kurikulum, mereka tentu kesulitan meluapkan kelebihan energinya itu dalam hal-hal lain yang positif. Akhirnya terjadilah kekerasan dan tawuran,” katanya.
Menurut dia, sekolah seharusnya mengakomodasi aspek afektif yang berkaitan dengan rasa dan empati, termasuk dalam mata pelajaran yang bersifat eksakta, misalnya matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA).
Wakil Rektor III Unika Soegijapranata itu mengakui, IPA adalah pelajaran yang teoritis dan kognitif, namun aspek psikologis dan afektif pun bisa diselipkan dalam pembelajarannya melalui praktik lapangan.
“Semua tahu IPA pelajaran eksakta. Namun, yang bisa diajarkan tak hanya kognitif, misalnya siswa bisa dilatih terjun ke lapangan untuk menanam mangrove, agar mereka sadar kerusakan alam yang terjadi,” katanya.
Cenderung kognitif
Selain itu, kata dia, kurikulum pendidikan yang cenderung mementingkan aspek kognitif ternyata membentuk persepsi di masyarakat bahwa seseorang yang tidak pintar secara kognitif berarti bodoh.
“Kalau siswa tidak pintar matematika dianggap bodoh, padahal siswa itu pintar catur atau mahir melukis. Saya lihat kurikulum semacam ini sudah mengakar mulai jenjang dasar sampai menengah atas,” katanya.
Terkait aksi kekerasan yang dilakukan senior terhadap yuniornya di lingkungan sekolah, ia menjelaskan aksi kekerasan siswa bisa terjadi di luar sekolah, seperti tawuran, atau di dalam, seperti perpeloncoan.
“Kekerasan semacam ini disebabkan rasa senioritas, biasanya terjadi di lingkungan sekolah yang bersistem asrama. Seharusnya pengelola sekolah mau berkomitmen untuk menghilangkan perasaan primordialisme,” katanya.
Hubungan antarpelajar, antarmahasiswa, termasuk dengan dosennya, kata Ferdinand, sebaiknya dibentuk secara egaliter (setara) dan tidak ada keharusan penghormatan berlebihan dari yunior pada seniornya.