Kekuasaan Itu Licin

0
191 views
Ilustrasi: Kekuasaan dan kritik politik by Ist

“One can easily slips while in power.” (AVM, 2020)

Seorang sahabat yang lama tak kontak mengirim pesan melalui WA. “Payah. Jalan masuk ke rumah dipasang ‘polisi tidur’. Saling berdekatan, tinggi dan curam.”

Lantas apa yang salah dengan ‘polisi tidur’?

Jawabnya adalah “cara memasangnya.”

Ketika pemuda-pemuda RT diberi wewenang untuk memasang ‘polisi tidur’, terjadilah ‘penyalahgunaan kekuasaan’.

Mereka merasa bisa membuat semaunya, tanpa batasan, tanpa aturan, dan tanpa tenggang-rasa. “Dendam” kepada pengguna lalu-lintas yang mengganggu kenyamanan di depan rumahnya terlampiaskan.

Membangun ‘polisi tidur’ memang perkara sepele. Tapi, kisah di atas mengajarkan bahwa kekuasaan, besar atau kecil, bila tak disertai mekanisme kontrol yang memadai, mudah melahirkan penyelewengan

Kekuasaan yang lama apalagi penuh gegap gempita mudah menggelincirkan pemegangnya.

Fenomena ini sudah lama diungkapkan oleh seorang tokoh sejarah, politisi dan penulis terkenal dari Inggris, John Emerich Edward Dalberg-Acton (1834-1902). Lord Acton menulis surat kepada Uskup Anglikan Mendell Creighton, pada tahun 1887. Nadanya mengingatkan para pemimpin agama.

Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.”

Mungkin Lord Acton berlebihan. Tetapi kepekaannya dalam melihat “bahaya” kekuasaan, pantas dicermati dan diwaspadai.

Drama ‘polisi tidur’ membuktikan bahwa “kekuasaan” tak membedakan besar atau kecil. “Kekuasaan” tanpa kontrol, tanpa check and balances, tanpa pengawasan, tanpa penegakan aturan, hampir pasti membuahkan penyelewengan.

“Kekuasaan” membuat orang gamang.

Power is absurd.”

Orang mudah tergelincir karena menerjemahkannya sekehendak hatinya.

Plato (428-348 SM), pemikir terkenal asal Yunani, berpendapat bahwa dari power yang digenggamnya, manusia bisa ditandai sifatnya.

Ini sangat tergantung kepada tata-nilai yang berada di dalam dirinya.

The measure of a man is what he does with power.”

“Kekuasaan” dibayangkan sebagai musuh yang senantiasa mengancam.

Bersama “harta”, ia digambarkan bak dua bayangan hitam yang siap menerkam sang pemegangnya.

Ironis, meski menakutkan, ketika mendapatkannya, kebanyakan orang malah bersuka-cita. Lengah dan kemudian terjerumus karenanya.

Seharusnya ia digenggam dengan hati-hati, prihatin atau malah “ketakutan”. Sedikit alpa, berubah malapetaka.

“Power is a mandate.”

Amanah, tanggungjawab, tetapi gampang berubah menjadi beban dan harus dikembalikan kepada si pemberi pada saatnya.

Pembuat ‘polisi tidur’ adalah contoh “kekuasaan” sederhana yang melenceng.

Pak Harto diturunkan paksa dari tahta setelah 32 tahun berkuasa. Begitu pula banyak pemimpin dunia yang jatuh karena alasan yang sama.

Suami atau isteri, bisa berlaku tak semestinya kepada pasangannya.

Untuk urusan yang simpel sekali pun, seperti admin dari sebuah grup WA atau pengurus dari sebuah kumpulan sosial, “kekuasaan” bisa berubah bentuk menjadi monster yang menakutkan.

“Kekuasaan” biasanya identik dengan jabatan. Jabatan adalah pengabdian. Posisi adalah melayani.

Tahta adalah menghamba. Itu yang ditulis oleh Robert K Greenleaf dalam buku Servant Leadership (1977).

Greenleaf, seorang ahli yang passion di bidang people development dan leadership mengatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang mendapat tanggungjawab memegang kekuasaan. Tugas utama dan pertamanya adalah melayani yang dipimpinnya.

Roh kekuasaan bukan menguasai, bukan mencari keuntungan untuk pribadi atau keluarga, bukan menyilakan materi atau posisi masuk ke dalam pundi-pundi, tapi harus larut bersama komunitas yang dipimpin. Kemudian, tumbuh bersama-sama dengan seluruh anggota.

“The servant-leader is servant first.”

Prinsip itu menghilangkan kondisi licin untuk sebuah “kekuasaan”. Pemegangnya tak mudah tergelincir.

Dalam konteks itulah “kekuasaan” akan aman, sejahtera dan bermakna.

Kekuasaan akan berkah bila punya hati bersih dan tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular (Mat 10;16).

Sri Sultan Hamengku Buwono IX memaknainya dalam buku Tahta untuk Rakyat (1982).

Ia mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.

”Memayu hayuning bawana. Ambrasta dur hangkara.”

Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Muhamadijah dan pergerakan nasional, serta pahlawan bangsa mengungkapkan dengan kata-kata yang berbeda, meski dengan arti yang senada.

“Leiden is lijden.” (Memimpin adalah menderita).

Robert Greenleaf, Sri Sultan Hamengubuwono IX, dan Mr. Kasman Singodimedjo berasal dari tempat atau zaman yang berbeda. Mungkin mereka tidak pernah mendiskusikan hal ini. Tetapi konsep tentang pemimpin dan power yang digenggamnya, persis sama tahta adalah menghamba. Baru kepemimpinan bermanfaat bagi sesama.

“Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” (Mat 20;26)

Catatan:
Artikel ini ditulis Juli 2020. Saya edarkan kembali dengan sedikit revisi, dengan tujuan untuk siapa saja yang berkenan dan merasa berkepentingan. Moga-moga masih relevan.

@pmsusbandono
24 Juli 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here