Kekuatan Rasa Syukur

0
1,334 views

Minggu, 9 Oktober 2016
Minggu Biasa XXVIII
2Raj 5:14-17; Mzm 98:1.2-3ab.3cd-4; 2Tim 2:8-13; Luk 17:11-19

Seorang di antara mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu seorang Samaria. Lalu Yesus berkata, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain orang asing ini?”

INJIL hari ini menyatakan kepada kita tentang para penderita kusta yang menaruh harapan mereka kepada Yesus Kristus. Berdiri di kejauhan dari Kristus, mereka mengenali keadaan mereka yang tanpa pertolongan dan memohon kerahiman. Yesus Kristus mendengarkan doa mereka. Mereka menerima yang mereka minta. Yesus Kristus menyembuhkan mereka. Namu hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur kepada-Nya.

Mari kita menyadari bahwa secara rohani kita ini menderita kusta yang memohon kerahiman Allah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus wajah kerahiman Allah. Kita harus belajar dari satu orang kusta yang kembali kepada Yesus Kristus untul bersyukur. Kita dipanggil untuk menjadi orang yang penuh syukur.

Satu orang kusta yang datang kembali untuk bersyukur pada Yesus dipuji karena rasa syukurnya. Dari Injil hari ini kita dapat belajar cara bersyukur kepada Allah. Itu berarti bahwa kita harus mengubah hidup dari sekadar penerima menjadi pemberi.

Mengapa rasa syukur kita begitu penting bagi Allah? Pertama-tama, Allah menghendaki rasa syukur kita. Kedua, segala sesuatu yang kita miliki adalah anugerah dari Allah: penciptaan, kehidupan, kemampuan, kesempatan dan pengharapan akan surga. Ketiga, rasa syukur membuka diri kita pada Allah dan sesama.

Rasa syukur sedemikian penting dalam kehidupan kita. Rasa syukur membangun jembatan, mempersatukan komunitas, dan melembutkan hati. Rasa syukur laksana bunga terindah di taman keutamaan yang menyembuhkan depresi dan membebaskan kecemasan. Jika kita hanya menerima anugerah Allah tanpa rasa syukur kita akan melulu jadi konsumen rahmat, yang tak mampu bersyukur. Dengan menunjukkan rasa syukur kita mempersembahkan kepada Allah segala yang telah disediakan-Nya bagi kita.

Saat kita bersyukur kita tak lagi penerima pasif. Kita tak hanya penerima. Kita menjadi pemberi aktif, bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kepada kita segala yang tak kita miliki. Dengan bersyukur atas segala yang kita terima, kita dimampukan menerima lebih banyak lagi dari Allah.

Kita bersyukur karena Allah telah menyelamatkan kita. Lalu kita mampu bertumbuh dalam keintiman dengan Allah yang mengundang kita ke dalam relasi personal. Kita bertumbuh dalam relasi personal dengan Allah, contohnya, dalam Ekaristi. Di sana kita tak lagi melulu penerima pasif atas rahmat-Nya, tetapi bekerja sama dalam karya penebusan-Nya. Dalam bahasa Yunani bersyukur  EuXaristia. Kita diselamatkan, maka kita dipanggil untuk kian Ekaristis.

Dalam Adorasi Ekaristi Abadi kita bersembah sujud di hadirat Yesus Kristus kita belajar untuk hidup penuh syukur, hidup Ekaristis. Di sana kita menarik banyak berkat bagi jiwa kita, keluarga kita, paroki kita, dan masyarakat kita.

Tuhan Yesus Kristus, anugerahilah kami rahmat rasa syukur pada-Mu sehingga kami dapat selalu memuji Dikau senantiasa. Buatlah kami sadar akan begitu banyak rahmat yang Kau anugerahkan kepada kami hingga kami boleh menyambutnya dan mempersembahkan yang kehendaki yakni hati yang penuh syukur. Semoga kami menjadi lebih penuh syukur dan memperdalam persekutuan dengan Dikau kini dan selamanya. Amin.

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here