Renungan Harian
Jumat, 11 Juni 2021
Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus
Bacaan I: Hos. 11: 1. 3-4. 8c-9
Bacaan II: Ef. 3: 8-12. 14-19
Injil: Yoh. 19: 31-37
BEBERAPA tahun yang lalu, saya memberi Sakramen Baptis kepada seorang bapak yang sudah berusia 85 tahun. Isteri, anak, menantu dan cucu-cucunya sudah baptis, hanya bapak ini yang semula belum dibaptis.
Menurut cerita isterinya, suaminya ketika ditawari untuk dibaptis selalu mengatakan belum mau. Alasannya tidak pernah jelas.
Bahkan sering dengan bergurau bapak ini mengatakan kepada isterinya: “Nanti kalau kamu dan anak-anak masuk surga, jangan lupain saya ya.”
Maka isetri dan anak-anaknya tidak ada yang meminta atau membujuk bapak itu untuk dibaptis.
Sampai pada suatu saat, bapak itu minta pada isterinya agar dirinya bisa dibaptis. Ketika isterinya meminta agar suaminya dibaptis, saya minta agar suaminya disiapkan oleh katekis dalam waktu satu atau dua bulan mengingat usia.
Saya minta katekis untuk mengajari berdoa saja, karena pelajaran-pelajaran pasti sudah sulit dimengerti.
Menurut katekis, belajar berdoa pun juga sulit, sudah tidak mampu untuk menghafal.
Ketika berdoa Bapa Kami, bapak itu ingat bagian awal; bagian tengah ke belakang lupa; suatu ketika bagian awal lupa, tetapi bagian akhir ingat.
Demikian berulang terjadi. Kami semua mengerti mengingat usia.
Maka setelah disiapkan selama satu bulan, saya membaptis bapak itu dalam sebuah ibadat di rumahnya.
Setelah dibaptis, saya bertanya: “Opa, setelah dibaptis rasanya bagaimana?”
“Saya rasanya lega,” jawab bapak itu.
“Lega karena apa?,” tanya saya.
“Romo, saya lega. Karena saya sekarang bisa berdoa dan tahu berdoa kepada siapa. Saya sekarang ini merasa sudah sah kalau berdoa. Sebelum dibaptis rasanya kok belum sah. Jadi agak ragu dan takut. Dan lagi dengan dibaptis saya tahu kemana saya harus pergi, dan saya merasa dibawa dekat dengan Tuhan,” jawab bapak itu.
“Wow luar biasa,” kata saya dalam hati.
Apa yang dikatakan Bapak itu bagi saya menunjukkan pengalaman iman yang luar biasa.
Bapak itu sudah tidak bisa lagi menangkap apa yang diajarkan, doa-doa pokok sederhana sudah tidak dapat menghafal lagi akan tetapi penghayatan iman luar biasa.
Menurut saya, entah dengan cara bagaimana beliau berdoa, tetapi doa-doanya menunjukkan pengalaman kedekatannya dengan Tuhan.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius: “Di dalam Dia, kita beroleh keberanian dan jalan menghadap kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepadaNya.”
Bagaimana dengan aku?
Sejauh mana penghayatan imanku yang terungkap dalam hidup doaku?