BAPERAN- BAcaan PERmenungan hariAN.
Rabu, 3 November 2021.
Tema: Campur Tangan.
- Rm. 13; 8-10.
- Luk. 14: 25-33.
TAK terduga. Kadang banyak hal tak terduga. Akal pun tak menangkap sebelumnya.
Yang ada adalah sebuah kekaguman dan sebuah keyakinan ada “sesuatu” di dalam diri manusia. Yang telah ikut campur tangan di dalam pertumbuhannya. Kesadaran diri.
Nyatanya memang tidak gampang. Apa yang kelihatan kadang tidak mendorong untuk mencari tahu, lebih memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Kemampuan melihat di balik setiap peristiwa hidup. Yang terjadi kiranya membutuhkan kepekaan dan kesabaran.
Ya, semua ada kodratnya.
Kenanganku kembali pada sebuah keluarga.
“Mo, kenalkan ini anak-anak,” kata seorang ayah.
Terhentak sesaat. “Betulkah, ini anak-anakmu?”
“Ya, iyalah Romo. Wajahnya masih ada bekas-bekas ketika mereka kecil. Romo pasti mengingatnya.”
Sambil tersenyum aku berkata, “Sudah kuduga kok. Aduh kalian mengagumkan. Ganteng,” sambil kusebut nama yang putera.
“Dan cantiknya,” tentang si kecil, puteri.
“Terasa tiba-tiba, kalian sudah besar. Hmmmm…. hebat.”
“Masih sering bertengkar?”
Semua pada tersenyum.
“Masih rebutan bantal ta?”
Mereka lebih tersenyum; bahkan tertawa, tapi tertahan.
“Masih sering rebutan dan iri soal makanan yang enak kah? Dan akhirnya bertengkar?
Mereka saling melihat satu sama lain, sementara ayah-ibunya tersenyum-senyum saja.
Kataku kepada yang perempuan yang terkecil, yang dulu sering dirundung. Bahkan mungkin sedikit menjadi sasaran kemarahan dua kakak, “Masih berani melawan koko? Membalas persis sama apa yang dilakukan padamu?”
“Ih… Romo, ingat masa kecil kami semua. sekarang ya nggaklah. Kan waktu itu masih kecil. Romo yang sering belain aku,” jawabnya tangkas.
“Dulu rasanya perut lapar terus. Di rumah kadang-kadang tidak ada makanan. Jadi rebutan. Laper melulu,” kata anak yang ke dua.
Maminya menjawil anaknya.
“Betul kok. Papa mama sibuk bekerja wae,” celetuk yang pertama.
“Emang, makan pake apa,” sela si ayah.
“Kalian tuh dulu, makannya banyak dan harus enak. Kalau udah makan lupa saudara dan papa mama. Papa aja sampai kurus”, balas sang ayah.”
“Hhhhhhhhh… Kalian tuh masih sama aja,” celetak celetuk spontan.
“Tapi saya bangga dan kagum dengan kalian. Sangat membanggakan. Kalian sering ditinggal papa mamamu bekerja. Kalian tetap bertahan. Kalian tetap survive sejak kecil. Sudah mandiri. Romo ingat, kalian pun kadang-kadang masak sendiri,” kataku mengenang masa lampau.
“Romo tak menyangka loh. Kalian bisa seperti ini. Badanmu sehat. Masing-masing sudah bekerja. Mapan dan mantap. Romo yakin kalian tidak akan kekurangan,” peneguhanku pada mereka.
“Iya romo. Kami juga ingat. Maka, kami datang. Kami mengenang masa kecil kami dulu. Banyak hal yang tak terlupakan. Dulu sering bertengkar karena laper dan papa mama sibuk kerja. “Sekarang, ngak lagi kok, Mo. Kami berjanji saling mendukung.
“Maksudnya?”
“Iya Mo. Kami kan masing-masing sudah punya pasangan. Saling memberi masukan satu sama lain. Kami tidak menyesal di kemudian hari. Dan kalau ada terjadi pada keluarga, di antara kami, kami akan membantu.
Juga dalam segi materi.
Kami sudah berjanji, pasangan kami tidak akan pernah boleh merenggangkan persaudaraan kami. Tidak akan boleh meributkan kalau kami membantu sama satu sama lain,” kata yang besar.
“Terhadap pasangan kalian masing-masing, gimana?”
“Ya kami, juga akan melakukan hal yang sama. Tetapi kami tidak diboleh dipengaruhi untuk tidak akrab satu sama lain, sekandung. Kami ingat masa kecil kami. Juga perjuangan papa mama untuk kami,” tegas anak yang pertama.
Tiba-tiba yang kecil bilang, “Ini Mo dari kami bertiga. Sedikit hasil kerja kami. Romo selalu mendoakan kami. Seneng Mo.”
Aku melirik papa mamanya. Matanya berkaca-kaca dan tersenyum.
Sebuah perjumpaan yang mengharukan setelah sekian lama berpisah.
Masing-masing menjalani kodrat hidupnya. Alam mengatur dan memudahkannya. Detil-detil kasih dihayati dalam keluarga.
Dan itulah sumber penghiburan, kekuatan dan pertumbuhan.
Paulus berkata, “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama. Kasih adalah kegenapan hukum Taurat.” ay 10.
Yesus pun membenarkan. Lih, ay 27.
Tuhan, berkatikah mereka, anak-anak-Mu. Amin.