Keluarga Kebiaraan di Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” Batu

0
1,522 views
Para suster rubiah karmelit di Biara Rubiah Karmel "Flos Carmeli" Batu, Jatim. Foto dokumentasi tahun 1970-an. (Dok. Flos Carmeli Batu)

INDAHNYA hidup bersama sebagai saudara di Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli”  bukanlah suatu ungkapan yang asal keluar dari satu mulut seorang rubiah karmel.  Melainkan, hal itu merupakan suatu ungkapan dari hasil penyadaran diri yang telah dilampauinya sekitar 22 tahun hidup bersama dengan orang lain yang mempunyai cita-cita dan tujuan hidup yang sama  serta bersama-sama hidup di bawah atap yang sama: hidup berkomunitas.

Baca juga:

Menjadi aspiran dan postulan

Sejak kapan seorang rubiah merasakan hidup berkomunitas adalah sebagai saudara? Juga mulai merasa dan menganggap diri masuk dalam sebuah keluarga kebiaraan?

Sr, Elisabeth O.Carm mendampingi tiga calon (aspiran) yang ingin menjadi rubiah karmelit. Ketiganya datang dari Banyuwangi, Jakarta, dan Surakarta. (Mathias Hariyadi)

Seorang rubiah memulai hidup bersama dalam keluarga kebiaraan sejak ia menginjakkan kaki memasuki pintu klausura papalis (wilayah bagian dalam biara yang telah telah disahkan oleh Bapa Suci Paus sebagai bagian internal biara hanya khusus untuk warga biara dan bukan wilayah bebas dimasuki orang lain) untuk bergabung bersama para rubiah yang lain yang sudah mendahului dia tinggal di dalam biara tersebut.

Seorang calon rubiah akan menyandang statusnya sebagai aspiran atau postulant. Mereka ini  bagaikan  bayi yang baru lahir di dunia yang mengalami  semua serba baru:  lingkungan biara yang baru, mulai mengenal sesama anggota komunitas yang baru baik yang usianya di atas maupun di bawah seorang calon tersebut, tempat serta  kamar tidur yang baru. Namun yang  terutama adalah irama hidup yang baru.

Sudah ada di sini

Gejolak apa yang muncul di dalam hati saat pertama kali berada di tengah-tengah komunitas?

Suasana hati yang ada hanyalah menyadari bahwa saat ini aku telah ada di sini, di biara ini, dengan kenyataan inilah kemudian muncul pertanyaan-pertanyan pribadi yang mengandung jawaban ilahi yakni semua ini terjadi semata-mata hanya untuk menanggapi panggilan Tuhan.

Mulai saat inilah seluruh keberadaan si calon hanya mengarahkan kepada Yang Ilahi.

Para suster rubiah di Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” tengah menikmati sesi waktu rekreasi bersama di dalam klausura biara. (Dok. Biara Flos Carmeli Batu)

Baca juga:

Pergumulan demi pergumulan mengalir bagaikan air sungai yang turun dari hulu menuju muara dan akhirnya menyatu dengan lautan — tempat dimana tidak terlihat lagi riak-riak dan buih-buih bahkan endapan-endapan yang menggumpal. Entah itu yang menyakitkan maupun yang menggembirakan. Terutama pergumulan terhadap sikap, kepribadian diri sendiri, acara harian dan menyesuaikan diri terhadap sesama.

Keluarga kebiaraan

Kapan munculnya pengertian adanya keluarga kebiaraan?  Itu terjadi ketika mulai dilanda kelelahan psikis bergumul melawan diri sendiri , namun di situ ada keberadaan sesama sekomunitas. Juga bisa terjadi, ketika tengah  berwawan sabda dengan Sang Khalik yang telah memanggil  calon untuk mengikuti Dia sebagai pendoa, pemohon rahmat bagi Gereja dan Dunia. Juga saat ia mulai menyadari bahwa seorang calon rubiah nantinya akan menjadi seorang rubiah dan bukan calon lagi dan saat menyadari seorang rubiah tinggal bersama terus…. sampai akhir menutup mata.

Rekreasi bersama di atas tikar. (Dok. Biara Rubiah Karmel Flos Carmeli Batu)

Saat itulah seorang calon tersebut menghadirkan keluarga Bapa, Putera, dan Roh Kudus (Tri Tunggal Mahakudus) dan menghadirkan pula Keluarga Kudus Nazareth (Yosef, Maria, dan Yesus) serta menghadirkan suasana keluarga jasmani (ayah, bunda, kakak, dan adik) maka mulailah si calon menganggap dan mengartikan keluarga kebiaraan sebagai berikut:

  • Priorin sebagai orangtua.
  • Mereka (para rubiah) yang lebih tua dalam profesi atau para senior sebagai kakak.
  • Mreka yang lebih muda dalam profesi sebagai adik.

Baca juga:

Meskipun ini sebatas pengertian dan pengakuan yang dirohanikan, realita tetap tidak bisa dipungkiri yakni senioritas yang sangat membantu lewat sikap dan tindak tanduk mereka sebagai teladan bagi yang lebih muda maupun bagi sesama senior. Bukanlah suatu kerinduan yang muluk-muluk jika suasana keluarga yang rukun damai dan sejahtera tetap diupayakan  bagaikan minyak Harun yang menetesi janggutnya dengan aroma yang harum mewangi.

Seorang rubiah ini pun menyadari bahwa hidup di tengah-tengah keluarg apun tidak lepas dari prasangka, salah paham bahkan berbeda pendapat maka wajarlah jika dikomunitas terjadi demikian pula apalagi komunitas itu terdiri dari berbagai macam pribadi dan latar belakang yang berbeda.

Sungguh indah hidup bersama sebagai saudara dalam Kritus jika masing-masing selalu ingat dan berpegang teguh pada komitmen awal.

Idealnya, seorang rubiah lebih mengedepankan Kristus dan sesama daripada diri sendiri. Namun,  kelemahan dan keterbatasan pribadi ternyata juga ikut berperan dalam setiap detik nafas kehidupan meskipun tetap ada perbedaan satu sama lain dalam bertindak.

Selamat berjuang tanpa akhir sampai akhir hayat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here