INDAHNYA hidup bersama sebagai saudara di Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” bukanlah suatu ungkapan yang asal keluar dari satu mulut seorang rubiah karmel. Melainkan, hal itu merupakan suatu ungkapan dari hasil penyadaran diri yang telah dilampauinya sekitar 22 tahun hidup bersama dengan orang lain yang mempunyai cita-cita dan tujuan hidup yang sama serta bersama-sama hidup di bawah atap yang sama: hidup berkomunitas.
Baca juga:
- Mengalami Tuhan Sejak di Balik Kisi Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli”
- Oh My God di Biara Rubiah Karmelites Flos Carmeli Batu
Menjadi aspiran dan postulan
Sejak kapan seorang rubiah merasakan hidup berkomunitas adalah sebagai saudara? Juga mulai merasa dan menganggap diri masuk dalam sebuah keluarga kebiaraan?
Seorang rubiah memulai hidup bersama dalam keluarga kebiaraan sejak ia menginjakkan kaki memasuki pintu klausura papalis (wilayah bagian dalam biara yang telah telah disahkan oleh Bapa Suci Paus sebagai bagian internal biara hanya khusus untuk warga biara dan bukan wilayah bebas dimasuki orang lain) untuk bergabung bersama para rubiah yang lain yang sudah mendahului dia tinggal di dalam biara tersebut.
Seorang calon rubiah akan menyandang statusnya sebagai aspiran atau postulant. Mereka ini bagaikan bayi yang baru lahir di dunia yang mengalami semua serba baru: lingkungan biara yang baru, mulai mengenal sesama anggota komunitas yang baru baik yang usianya di atas maupun di bawah seorang calon tersebut, tempat serta kamar tidur yang baru. Namun yang terutama adalah irama hidup yang baru.
Sudah ada di sini
Gejolak apa yang muncul di dalam hati saat pertama kali berada di tengah-tengah komunitas?
Suasana hati yang ada hanyalah menyadari bahwa saat ini aku telah ada di sini, di biara ini, dengan kenyataan inilah kemudian muncul pertanyaan-pertanyan pribadi yang mengandung jawaban ilahi yakni semua ini terjadi semata-mata hanya untuk menanggapi panggilan Tuhan.
Mulai saat inilah seluruh keberadaan si calon hanya mengarahkan kepada Yang Ilahi.
Baca juga:
- Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” Batu: Enak Mirasa, karena Bumbunya Cinta (4)
- Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” di Batu: Keheningan itu Menakjubkan
Pergumulan demi pergumulan mengalir bagaikan air sungai yang turun dari hulu menuju muara dan akhirnya menyatu dengan lautan — tempat dimana tidak terlihat lagi riak-riak dan buih-buih bahkan endapan-endapan yang menggumpal. Entah itu yang menyakitkan maupun yang menggembirakan. Terutama pergumulan terhadap sikap, kepribadian diri sendiri, acara harian dan menyesuaikan diri terhadap sesama.
Keluarga kebiaraan
Kapan munculnya pengertian adanya keluarga kebiaraan? Itu terjadi ketika mulai dilanda kelelahan psikis bergumul melawan diri sendiri , namun di situ ada keberadaan sesama sekomunitas. Juga bisa terjadi, ketika tengah berwawan sabda dengan Sang Khalik yang telah memanggil calon untuk mengikuti Dia sebagai pendoa, pemohon rahmat bagi Gereja dan Dunia. Juga saat ia mulai menyadari bahwa seorang calon rubiah nantinya akan menjadi seorang rubiah dan bukan calon lagi dan saat menyadari seorang rubiah tinggal bersama terus…. sampai akhir menutup mata.
Saat itulah seorang calon tersebut menghadirkan keluarga Bapa, Putera, dan Roh Kudus (Tri Tunggal Mahakudus) dan menghadirkan pula Keluarga Kudus Nazareth (Yosef, Maria, dan Yesus) serta menghadirkan suasana keluarga jasmani (ayah, bunda, kakak, dan adik) maka mulailah si calon menganggap dan mengartikan keluarga kebiaraan sebagai berikut:
- Priorin sebagai orangtua.
- Mereka (para rubiah) yang lebih tua dalam profesi atau para senior sebagai kakak.
- Mreka yang lebih muda dalam profesi sebagai adik.
Baca juga:
- Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” Batu: Areal Misa Berseberangan (2)
- Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” Batu: Tak Bersentuhan dengan Dunia Luar (1)
Meskipun ini sebatas pengertian dan pengakuan yang dirohanikan, realita tetap tidak bisa dipungkiri yakni senioritas yang sangat membantu lewat sikap dan tindak tanduk mereka sebagai teladan bagi yang lebih muda maupun bagi sesama senior. Bukanlah suatu kerinduan yang muluk-muluk jika suasana keluarga yang rukun damai dan sejahtera tetap diupayakan bagaikan minyak Harun yang menetesi janggutnya dengan aroma yang harum mewangi.
Seorang rubiah ini pun menyadari bahwa hidup di tengah-tengah keluarg apun tidak lepas dari prasangka, salah paham bahkan berbeda pendapat maka wajarlah jika dikomunitas terjadi demikian pula apalagi komunitas itu terdiri dari berbagai macam pribadi dan latar belakang yang berbeda.
Sungguh indah hidup bersama sebagai saudara dalam Kritus jika masing-masing selalu ingat dan berpegang teguh pada komitmen awal.
Idealnya, seorang rubiah lebih mengedepankan Kristus dan sesama daripada diri sendiri. Namun, kelemahan dan keterbatasan pribadi ternyata juga ikut berperan dalam setiap detik nafas kehidupan meskipun tetap ada perbedaan satu sama lain dalam bertindak.
Selamat berjuang tanpa akhir sampai akhir hayat.