KESETARAAN gender dalam ekonomi masih belum terwujud sampai saat ini.
Kesimpulan ini bisa dibaca dalam hasil riset Bank Dunia berjudul Women, Business and the Law 2023 yang dipublikasikan pada Maret 2023.
Pada tahun 2019, perempuan hanya memiliki persamaan hak di enam negara. Di tempat lain, diskriminasi hukum, keyakinan yang merugikan, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan rendahnya tingkat partisipasi politik melanggengkan ketidaksetaraan gender.
Kondisi tersebut membaik di sebagian kecil negara. Di tahun 2022, tercatat 14 negara yang memiliki hukum yang menyatakan kesetaraan tersebut. Walaupun dalam praktiknya masih ada ketidaksesuaian di lapangan.
Gender Equality: tujuan ke-5 dalam SDGs
Pada tahun 2015, para pemimpin dunia yang berkumpul di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil menetapkan 17 target Sustainable Development Goals (SDGs). Diharapkan 17 tujuan tersebut bisa diwujudkan dalam Upaya 15 tahun yaitu pada 2030.
Target pertama adalah No Poverty – menghilangkan kemiskinan ekstrem. Kemiskinan esktrem didefinisikan sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari $1,90 per hari.
Kesadaran tentang kesetaraan gender semakin tinggi, terutama pada negara maju. Maka Gender Equality menjadi target kelima SDGs.
Pemahaman lebih lanjut adalah melihat kaitan antara kemiskinan dan kesetaraan gender. Para peneliti sosial menunjukkan bahwa selama kesetaraan gender masih terjadi maka kemiskinan tidak bisa dihilangkan.
Kaitan antara kesetaraan gender dan kemiskinan
Terdapat berbagai alasan mengapa mencapai kesetaraan gender sangat penting untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem.
Pertama, kemiskinan ekstrem secara tidak proporsional menimpa perempuan karena mereka tidak mempunyai kesempatan sebanyak laki-laki untuk menerima pendidikan, pekerjaan, atau memiliki harta benda.
Anak perempuan mulai kehilangan peluang untuk mencapai potensi penuh mereka di usia muda. Keluarga-keluarga yang hidup dalam kemiskinan sering kali memutuskan untuk menyekolahkan anak laki-laki mereka dibandingkan anak perempuan mereka, atau membiarkan anak perempuan mereka menikah di bawah umur.
Menstruasi juga merupakan hambatan lain yang menghalangi anak perempuan untuk bersekolah jika mereka tidak memiliki akses terhadap informasi yang memadai tentang menstruasi mereka, terhadap air bersih dan sanitasi, atau terhadap produk-produk menstruasi. Anak perempuan juga lebih rentan terhadap kekerasan berbasis gender, konflik dan krisis, serta perdagangan manusia.
Kemiskinan waktu pada perempuan
Tenaga kerja tidak berbayar juga merupakan salah satu penyebab kemiskinan ekstrem yang sangat menghambat perempuan, menurut Silke Staab, periset di United Nation Women.
Menurut Staab, salah satu penyebab kemiskinan perempuan yang belum terlalu diperhitungkan dalam program dan kebijakan anti-kemiskinan adalah kemiskinan waktu – proporsi tanggung jawab untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Banyak dari perempuan tersebut, terutama di komunitas miskin, bukan karena mereka tidak cukup bekerja. Mereka melakukan banyak pekerjaan. Hanya saja tidak dibayar.
Pekerjaan rumah tangga ‘paksa’ dimulai sejak masa kanak-kanak bagi banyak anak perempuan, yang dibebani dengan tanggung jawab tertentu dalam keluarga seperti merawat orang tua yang sepuh, memasak, membersihkan rumah. Ketika mereka menjadi ibu, pekerjaan rumah akan bertambah karena mereka harus mengurus anak dan rumah.
Perempuan melakukan setidaknya dua setengah kali lebih banyak pekerjaan rumah tangga dan perawatan tidak berbayar dibandingkan laki-laki, yang berarti mereka memiliki lebih sedikit waktu untuk melakukan pekerjaan berbayar, atau bekerja lebih lama untuk pekerjaan berbayar dan tidak berbayar. Perempuan dibayar paling rendah untuk pekerjaan mereka, dan jika hal ini terjadi, menurut Staab dibutuhkan waktu 163 tahun untuk menutup kesenjangan upah gender.
Perempuan lebih mungkin hidup dalam kemiskinan ekstrim
Ketika perempuan mencari pekerjaan yang dibayar, undang-undang yang diskriminatif masih dapat menghalangi mereka untuk bergabung dengan dunia kerja dan terlibat dalam masyarakat sipil, yang mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi di pasar kerja, dalam politik dan pendidikan, kata ekonom internasional Augusto Lopez-Claros.
Di dunia, ada perempuan yang tidak bisa memutuskan bagaimana cara berpakaian, apakah mereka bekerja di malam hari, dengan siapa dan kapan mereka akan menikah, atau berhak atas warisan. Menurut riset Augusto Lopez-Claros, seorang ekonom internasional, uUndang-undang melarang perempuan untuk bekerja pada pekerjaan tertentu karena gender ditemukan di 104 negara. Ketidaksetaraan gender yang terjadi menyebabkan perempuan di negara-negara berkembang menderita kerugian sebesar $9 triliun setiap tahunnya.
Rata-rata, perempuan hanya mempunyai tiga perempat hak hukum dibandingkan laki-laki secara global. Dan itu terjadi terutama di beberapa kawasan termiskin di dunia.
Ketidaksetaraan gender membatasi peran perempuan dalam mengakses berbagai sumber daya. Keterbatasan ini menyebabkan perempuan lebih rentan terhadap kemiskinan.