HARI Minggu, 10.11.2018, saya kehilangan tutup pentil sepeda gunung. Mungkin jatuh entah di mana saat pulang dari Jember ke Tanggul, setahun lalu.
Dalam perjalanan berjarak 30 kilometer, pasti sulit mendengar suara jatuh penutup dari plastik bercampur karet. Suaranya ditelan kebisingan laju kendaraan bermesin.
Sepulang dari Gereja, segera sepeda dikayuh ke bengkel langganan.
“Cak Ahmad sedang makan. Apa butuh sampean?,” tanya Mak Badriah, Ibu Cak Ahmad, tukang sepeda langganan.
“Tutup pentil sepeda, Mak! Ada?” tanyaku.
Segera si ibu membongkar-bongkar kotak bekas biskuit. Tak biasa. Di tempat lain, segera si penjual bergegas membuka tempat suku cadang; membiarkan pembeli memilih sesuai dengan yang diinginkan. Dan tak butuh waktu lama, perempuan berusia sekitar 65 tahun menyerahkan empat biji penutup pentil.
“Ini, Mas. Dua untuk ukuran kecil. Dua lainnya untuk ukuran besar. Sampeyan cocokkan sendiri,” katanya saat memberikan penutup pentil.
“Mak, berapa semua?” tanyaku menanyakan jumlah uang yang harus kubayarkan.
“Berapa, ya? Bawa saja, Mas.”
Di jalan pulang, dalam hening total, in silentio magno, terlukis tangan-tangan tua itu mengumpulkan biji demi biji penutup pentil tak terpakai. Mengumpulkan barang sepele. Memberikan gratis. Dari kemurahan hati.
Quid gratis accipitur gratis datur; yang diterima secara cuma-cuma diberikan cuma-cuma. Gratias.