Kepemimpinan ala Plato

0
1 views
Ilustrasi: Pemimpin teladan.

SEDIKIT, saya pernah membaca dan mendengar tentang “Teori Kepemimpinan”. Versinya macam-macam, isinya beraneka ragam.

Sebut saja beberapa di antaranya: Transactional dan Transformational Leadership (Jim Downton), Situasional Leadership (Paul Hersey dan Ken Blanchard), Servant Leadership (Robert K. Greenleaf) dan Heroic Leadership (Chris Lowney).

Tapi kunjungan Paus Fransiscus beberapa waktu lalu ke Indonesia, ternyata menitip pesan tentang kriteria pemimpin yang agak berbeda: “The most important qualification for being leader is not wanting to be a leader.”

Paus mengutip pesan itu, yang entah ditujukan kepada siapa; dari seorang filsuf Yunani kuno, Plato (427-328 SM).

Berbeda dengan teori kepemimpinan moderen, Plato mensyaratkan bahwa kualifikasi paling penting dari seorang pemimpin adalah bila dia tidak menginginkan “jabatan” itu.

Syarat yang diajukan Plato nampaknya tidak mudah untuk diterapkan saat ini. Pemimpin masa kini justru berupaya, sering keras, agar dia bisa dipilih menjadi pemimpin. Kerap dengan cara yang melanggar etika dan moral.

Gejala yang bertentangan dengan kaidah Plato menjadi jamak karena dalam terminologi pemimpin, termasuk di dalamnya, tersedianya fasilitas, kompensasi dan kehormatan yang acap kali tak memiliki “checks and balances“. Tak heran kalau kekuasaan menjadi memabukkan.

Dalam suatu kesempatan lain, Romo Magnis mengatakan kutipan senada: “Kebahagiaan tidak didapat, bila seseorang mencarinya.”

Anomali kualifikasi kepemimpinan (dan kebahagiaan) ini semakin ke sini semakin jamak. Hakekat pemimpin yang seharus berprinsip ‘Tahta untuk Rakyat” (Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX karangan Mohamad Roem) semakin berbalik arah.

Kekuasaan dikejar menggunakan berbagai cara. Orang yang sudah duduk, lupa berdiri.

Meski kuno, nasehat Plato seharusnya menjadi kredo para (calon) pemimpin kita saat ini. Ditanamkan sejak level pemimpin paling rendah sampai paling tinggi.

Mr Kasman Singodimejo, perintis dan pejuang kemerdekaan NKRI, pada saat berkunjung ke rumah kontrakan Haji Agus Salim di Gang Tanah Tinggi Jakarta (1925), mengatakan bahwa memimpin identik dengan menderita: “Een leidersweg is een lydensweg. Leiden is lijden. (Jalan memimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin itu menderita.)

@pmsusbandono
13 Oktober 2024

Baca juga: Isteri Suhanda melahirkan bayi laki-laki

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here