Kesadaraan Masyarakat Adat terhadap Air Sebagai Sumber Kehidupan

0
316 views
Tradisi Mendak Tirta dan Gelar Pitu di Dukuh Kopen Kidul, Desa Glagah, Banyuwangi, Jatim. (Wiwin Indiarti)

DI Ensiklik Laudato Si‘, Paus Fransiskus mengingatkan warga dunia untuk menjaga sumber daya alam. Salah satunya adalah air. 

Mengapa air sangat penting?

Karena sekitar 70% di dalam tubuh manusia adalah air. Jika kandungan air di dalam tubuh manusia tidak cukup, otomatis akan mengalami gangguan kesehatan. 

Air juga berperan utama dalam pertanian dan industri. Namun pertanian yang tidak selaras alam dan limbah industri yang dibuang sembarangan akan mencemari air tanah.

Bahkan sampah rumah tangga, yang tidak dapat dikelola atau dimanfaatkan sebagai bahan daur ulang, terutama di wilayah perkotaan semakin memperburuk keadaan. Air yang tercemar mengakibatkan penyakit, seperti kolera, desentri dan penyakit kulit.

Adanya kesenjangan dalam mengakses kebutuhan air bersih antara si kaya dan si miskin. Orang dengan kemampuan ekonomi, lebih mudah mendapatkan air bersih.

Demi mencukupi kebutuhan air bersih, air dari pegunungan pun disalurkan ke daerah perkotaan. Namun masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, akan sulit mengaksesnya.

Tradisi Ruwat Sumber di Pentirtaan Jolotundo Trawas Mojokerto (Julius Lekso)

Tidak semua wilayah di dunia diberkati oleh air yang berlimpah, ada beberapa belahan dunia yang wilayahnya sulit air. Hal ini diperparah dengan semakin menipisnya ketersediaan air. Tidak sebanding dengan lajunya jumlah penduduk di dunia.

Pada akhirnya, kelangkaan air mengakibatkan biaya pangan menjadi tinggi karena produk yang dihasilkan berkurang. Tingginya harga pangan menimbulkan kemiskinan, juga mengakibatkan masalah kesehatan karena kurang pangan.

Bahkan kematian karena kelaparan, dengan korban pada anak-anak yang sulit bertahan dalam situasi seperti ini.

Mengapa hal ini terjadi di zaman modern? Di mana manusia semakin maju dalam mengelola sumber daya alam. Kemajuan tidak dapat diukur dari penguasaan teknologi saja, tapi juga harus disertai kebijakan atau kearifan dalam mengelolanya.

Dalam mengelola sumber daya alam berpalinglah pada kearifan lokal masyarakat adat yang ada di Indonesia.

Salah satunya kearifan lokal dalam menghargai air sebagai sumber kehidupan manusia dan bagaimana melestarikannya.

Masyarakat adat di Indonesia telah memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengelola air yang diwujudkan dalam bentuk tradisi atau ritual yang berkaitan dengan air, yang otomatis mendorong mereka untuk melestarikan sumber mataair.

Tradisi tersebut dijaga dan tetap dilakukan sampai sekarang. Dengan tradisi, masyarakat adat mengingatkan kepada anak cucunya.

Air dan masyarakat adat

Penghargaan terhadap air sebagai sumber kehidupan manusia telah dilakukan oleh masyarakat adat di Indonesia sejak dahulu. Di beberapa tempat masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan air sangat mendominasi segala aspek kehidupan, terutama pertanian.

Sawah bagi masyarakat adat Osing merupakan harga tak ternilai melebihi kepemilikan benda apa pun. Oleh karenanya, air sebagai sumber pengairan sangat dihargai dan di lestarikan. Penghargaan tersebut dalam bentuk ritual sumber mata air, setiap hari rabu terakhir atau biasa disebut rabu wekasan pada bulan safar.

Larangan ambil air di waktu tertentu

Ada larangan mengambil air di waktu tertentu, yaitu kurun waktu pukul 12.00-15.00. Karena di jam tersebut ada bala (sesuatu yang diyakini mencemari air).

Artinya dengan tidak mengambil air di ja-jam tersebut masyarakat belajar untuk tidak berlebihan mengambil air. Bijak untuk memanfaatkan air bagi kebutuhan hidup sehari hari atau tidak mengekploitasi air.

Tradisi Mendak Tirto

Sedangkan mendak tirto di Dukuh Kopen Kidul Kecamatan Glagah Banyuwangi adalah ritual pengambilan air dengan gunja (tempat menyimpan air dari bambu).

Tradisi ini merupakan bagian dari selamatan dukuh, yang dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah lebaran (satu tahun sekali).

Air diambil dari sumber mata air di hutan yang dikeramatkan yaitu alas cempaka putih. Masyarakat hanya diperbolehkan memasuki hutan di waktu tertentu, seperti pada saat mendak tirto.

Larangan tersebut ditujukan agar mata air dan pohon-pohon di hutan tersebut seperti randu alas, kepuh, duren dan sentul tetap lestari.

Tradisi Kayuan di Buleleng, Bali

Tradisi kayuan pada masyarakat adat Bali Aga di Desa Pedawa di Kabupaten Buleleng adalah tradisi menjaga sumber mata air sebagai sarana upacara adat dan keagamaan.

Upacara adat dan keagamaan, yang berkaitan dengan siklus hidup manusia (kelahiran, pernikahan, hingga kematian). Penyucian sumber mata air dengan membawa banten (sesaji) untuk menghormati Dewa Wisnu atau Dewa Air.

Sumber mata air dijaga dengan melakukan pelestarian rumpun bambu di sekelilingnya. Akar yang kuat dari rumpun bambu mampu menahan lahan kering di Desa Pedawa. Warga diajak ikut menjaga dengan mempelajari ekosistem sungai, kebun, tebing dan tanaman.

Tradisi Kayuan di Desa Pedawa Buleleng Bali (Hironimus Sudin)

Proses mencari dan mempelajari ekosistem adalah perjalanan yang sangat penting sebagai kesadaran ekologi dan pengetahuan keanekaragaman hayati. Jika tidak dilakukan, maka mata air kering. Akibatnya seluruh upacara adat dan keagamaan tidak bisa dilaksanakan, artinya malapetaka.

Penghormatan terhadap sumber mata air dengan tujuan yang sama mulai dihidupkan kembali oleh warga masyarakat di desa-desa sekitar Gunung Penanggungan Trawas Mojokerto.

Ritual ruwat sumber dilakukan dengan mengumpulkan air dari tujuh mata air utama, yang dilaksanakan di situs Petirtaan Jalatundo yang dibangun sejak Kerajaan Medang.

Tidak ada masyarakat yang tertinggal atau termodern

Menjadi masyarakat modern dengan pendidikan yang tinggi dan sejahtera secara ekonomi. Tidak harus bergaya hidup konsumtif dengan kebiasan hidup berlebih. Tetaplah bergaya hidup yang selaras alam dengan mempunyai empati terhadap sesama dan mahkluk hidup yang lain. Dan mendukung kelestariannya.

Berkaca pada masyarakat adat bukan berarti menjadi masyarakat tertinggal atau kuno. Karena apa yang dilakukan oleh masyarakat adat adalah ilmu dari nenek moyang. Dalam menghadapi segala situasi di lingkungannya. Juga bagaimana memanfaatkannya dengan tidak merusak alam. Sehingga tetap dinikmati oleh generasi berikutnya.

Ilustrasi – Tandon air bernama padhasan by ist

Bagaimana dengan air untuk kebutuhan pertanian?

Memang untuk kebutuhan pertanian, pemerintah Indonesia telah membangun banyak waduk atau embung di beberapa daerah, terutama di daerah Indonesia timur, yang sangat tergantung dari air hujan.

Apakah cukup hanya dengan membangun waduk dan embung saja untuk mengatasi kelangkaan air di lahan pertanian?

Tentunya tidak, karena kesadaran dalam setiap individu dalam menggunakan air, lebih baik dari solusi apa pun.

Narasumber:

  • Wiwin Indiarti, Penulis Budaya Osing dan Ketua Pengurus Harian Daerah dan Pengurus Dewan AMAN Osing.
  • Amri Bayu Saputra, Pemerhati Budaya Osing.
  • Hironimus Sudin, mahasiswa semester akhir jurusan Antropologi Universitas Udayana; dengan judul penelitian “Kayuan sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Bali Aga di Desa Pedawa”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here