Sabtu, 22 Oktober 2022
- Ef. 4:7-16.
- Mzm. 122:1-2,3-4a,4b-5.
- Luk. 13:1-9.
KECENDERUNGAN banyak orang itu, terlalu mudah untuk menyimpulkan bahwa musibah atau derita yang dialami orang lain adalah hasil dari perbuatan dosa yang kerap dilakukannya.
Peristiwa yang memilukan terjadi sebagai balasan atau hukuman dari perilaku salah yang pernah atau sedang dijalaninya.
Bahkan ketika orang sukses dalam usaha, atau pekerjaan namun tiba-tiba ada kejadian yang menyedihkan, sering disimpulkan hal itu terjadi karena keberhasilan itu perlu kurban.
Seakan Tuhan itu cemburu dan minta perhatian dan tidak senang, jika manusia hidup damai dan bahagia.
Tuhan Yesus mengingatkan bahwa hidup manusia itu tidak pasti, hidup manusia itu tidak abadi.
Maka manusia harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.
Dengan kata lain, Yesus memberi tanggapan bahwa bencana dan ketidak-beruntungan yang dialami seseorang, tidak mewakili bahwa ia lebih berdosa daripada orang lain, dan lebih perlu bertobat.
Sama halnya dengan orang yang hidupnya tenteram dan bahagia, itupun tidak mewakili bahwa ia tidak berdosa dan perlu bertobat, karena bisa saja karena cinta kasih Allah yang memberi kesempatan untuk bertobat dan introspeksi.
Seorang ibu mensyeringkan pengalamannya, menyingkapi pandangan dan omongan orang tentang hidupnya.
“Saya mewarisi usaha jualan ini dari ibu saya, dan kini saya menatanya dengan gaya dan model baru,” katanya.
“Dari hasil toko ini, saya bisa mengembangkan toko lebih maju,” ujarnya.
“Melihat kemajuan toko kami ini, ada orang-orang yang menuduh kami ‘nyupang.’ Lalu disebarkan gosip tentang toko kami yang tidak benar,” lanjutnya.
“Saya sedih, namun tidak akan mundur sejengkalpun, saya selama ini berusaha dengan benar, tidak berbuat seperti yang mereka tuduhan,” sambungnya.
“Prinsip saya, saya akan melakukan yang baik dan benar, untuk mengembangkan usaha ini, saya tidak akan banyak mengurusi omongan orang yang tidak benar,” tegasnya.
“Biarlah dengan berjalannya waktu, kebenaran terungkap dan omongan yang tidak benar dikoreksi oleh kebenaran yang ada.
“Saya ingin menggunakan setiap kesempatan untuk berbenah diri, dan mengembangkan usaha saya, sehingga hidupku bisa menjadi berkat bagi orang lain,” tegasnya.
Dalam bacaan Inji hari ini kita dengar demikian,
Yesus menjawab mereka: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu?
Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.”
Nasib baik atau bencana bukanlah indikator-indikator yang layak untuk mengukur spiritualitas seseorang, karena Bapa surgawi “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Yesus justru menegaskan bahwa musibah dan penderitaan bukanlah hukuman Allah atas dosa-dosa kita.
Meskipun bukan menjadi penyebab langsungnya, namun tidak berarti bahwa penderitaan dan musibah sama-sekali tidak ada kaitannya dengan dosa manusia.
Yesus mengajak kita untuk selalu mawas-diri. Berita tentang musibah dan penderitaan hendaknya menjadi kesempatan untuk bertobat, untuk berkaca dan mendandani diri.
Bagaimana dengan diriku? Apakah saya sabar dalam proses pertobatan yang tengah saya jalani?