Renungan Harian
Minggu, 13 Februari 2022
Hari Minggu Biasa VI
Bacaan I: Yer. 17: 5-8
Bacaan II: 1Kor. 15: 12. 16-20
Injil: Luk. 6: 17. 20-26
DALAM sebuah kesempatan acara kunjungan umat senior di paroki, saya mengunjungi umat senior di rumah anaknya. Saat saya masuk rumah dan diantar menuju kamar oma, anaknya berpesan:
“Pastor, nanti kalau mama ngomong apa pun dan ngomel-ngomel, mohon jangan ditanggapi ya. Maaf pastor, saya khawatir nanti malah merepotkan. Nanti setelah pastor bertemu mama, saya akan cerita.”
Saya mengiyakan dan segera bertemu dengan oma itu.
Benar saja, ketika saya menjumpai oma itu; oma langsung berkeluh kesah panjang lebar. Dari keluhan itu, saya menangkap bahwa oma merasa kesepian. oma merasa tidak diperhatikan oleh anak-anaknya, menantu, dan cucunya.
Oma merasa terpenjara di kamarnya yang bagus itu. Oma mengakui bahwa dirinya mendapatkan fasilitas wah dari anaknya, tetapi itu semua dirasakan memenjarakan dirinya.
Menurut oma itu, anak-anak dan menantu apalagi cucu-cucunya amat jarang menengok dan menyapanya. Oma hanya ditemani dengan dua orang suster yang menjaga dan merawatnya yang dia sebut sebagai orang-orang bodoh, karena tidak bisa bekerja.
Nampaknya oma senang berkumpul dengan keluarga, dengan anak-anak, menantu dan cucu-cucunya. Oma berpesan agar saya memberi tahu anak-anaknya supaya lebih memperhatikannya.
Setelah saya menjumpai oma, ngobrol dengan anak-anaknya dan menantu-menantunya. Anak yang paling besar bercerita:
“Pastor, dari dulu mama itu orangnya perfeksionis. Semua hal harus sesuai dengan apa yang Mama mau. Dari dulu kami sudah terbiasa diomelin Mama, karena banyak hal karena tidak sesuai dengan apa yang Mama mau.
Semakin tua, wah bukannya berkurang tetapi semakin menjadi-jadi. Kami selalu menjadwalkan siapa di antara kami yang bisa mengunjungi dan menemani Mama sepekan sekali. Dan itu kami jalankan, bahkan amat sering kami kumpul bareng seperti ini.
Tetapi karena sikap Mama yang seperti itu membuat kami tidak betah untuk berlama-lama ngobrol dengan Mama. Maka meskipun kami mengunjungi Mama, kami semua tidak di kamar Mama.
Pastor, kami juga kasihan dengan suster-suster yang merawat Mama; mereka setiap saat kena omel. Amat sering suster itu berganti, baik karena mereka tidak betah atau karena Mama memecatnya.
Berkali-kali kami ngomong ke Mama agar tidak banyak marah ke suster, karena mencari suster itu susah tetapi tetap tidak mempan. Pastor tidak ada satu cucu pun yang dekat dengan Mama; semua takut karena selalu diomelin.
Satu pihak kami mengerti bahwa itu sikap Mama, tetapi kami bagaimana ya Pastor, kami tidak tahan dengan omelan Mama yang kadang amat kasar.
Sulit kami mengerti apa yang mama mau, satu kali mau begini belum juga ganti hari sudah berubah lagi. Kami juga tahu kalau Mama itu sebenarnya kesepian, Mama merasa tidak punya teman.
Sejak masih muda Mama memang tidak punya banyak teman, ya karena sikapnya itu dan kalau ngomong ketus. Kasihan sebenarnya Mama itu.
Kami sering ngomong Mama itu kesepian karena membuat dirinya sebagai hukum dan kebenaran sehingga tidak ada seoran gpun yang benar di mata mama,” bapak itu mengakhiri ceritanya yang sesekali dikuatkan oleh adik-adiknya.
Banyak orang yang kesepian, merasa sendiri dan kering sering kali bersumber dari sikap dalam dirinya sendiri. Orang yang selalu merasa diri sebagai yang utama, sebagai yang hebat dan benar sehingga selalu menyalahkan orang lain. Terlalu yakin dengan dirinya sendiri tidak memperhatikan kepentingan orang lain.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Yeremia:
“Orang yang mengandalkan kekuatannya sendiri dan yang hatinya menjauh dari Tuhan, seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah gersang di padang gurun, di padang asin yang tidak berpenduduk.”