Ketika Bahtera Rumahtangga Oleng

0
56 views
Ilustrasi - Buang cincin perkawinan karena ingin bercerai. (Ist)

Minggu, 6 Oktober 2024

Kej. 2:18-24;
Mzm. 128:1-2.3.4-5.6;
Ibr. 2:9-11;
Mrk. 10:2-16 (Mrk. 10:2-12)

SEMUA orang pernah mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan, termasuk dalam mengarungi bahtera rumahtangga.

Kesulitan dapat datang silih berganti, menciptakan beban yang berat. Dalam setiap tantangan, ada harapan dan kekuatan yang dapat kita temukan melalui iman kita.

Sering kali kita merasa sendirian dan tertekan. Namun, Allah selalu hadir di tengah kesulitan kita.

Dalam masa sulit, dukungan dari anggota keluarga sangat penting. Kita perlu saling menguatkan dan mengingatkan bahwa kita tidak sendiri. Iman yang kita miliki seharusnya mendorong kita untuk saling menopang, menciptakan lingkungan yang penuh kasih.

“Pernah saya jalani hidup perkawinan yang begitu hambar,” kata seorang ibu.

“Semua itu terjadi ketika aku menemukan perilaku suamiku yang tidak bertanggungjawab. Kecenderungan suamiku terkadang masih dikuasai oleh keinginan untuk mengutamakan keinginan dirinya sendiri; apalagi ketika hubungan dengan Tuhan menjauh.

Saat itulah, saya merasakan suasana keluargaku terus bergolak, saling menyalahkan dan sering sekali terjadi keributan. Mulai hal yang kecil hingga hal yang paling prinsip sehingga kami terancam perceraiaan.

Dia pernah ingin membunuhku, karena kalap dan tidak mau saya tegur. Saat itu, saya telah menyiapkan hati dan niat untuk berpisah atau bercerai dengannya.

Namun kemudian, saya tersadar, ketika berdoa di gua Maria di belakang gereja paroki kami.

Tindakanku jelas konyol karena saya menyerah dan melepaskan diriku dan suamiku dari ikatan kasih yang telah Tuhan persatuan dalam Sakramen perkawinan.

Saya sadari bahwa semasih di dunia ini, jelas tidak ada yang abadi. Masalah selalu akan ada, maka saat ada masalah bukannya aku lari. Namun aku harus berani membaharui kembali Janji Perkawinan dan kesetiaan kepada Tuhan,” urainya

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Yesus berkata kepada mereka: Karena ketegaran hatimulah, Musa menulis perintah itu untukmu. Sebab pada awal dunia Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”

Perkawinan dan kehidupan anak-anak merupakan bagian integral di dalam kehidupan kita yang merupakan panggilan dan pilihan hidup sebagian besar dari kita.

Perkawian Katolik, jelas dipersatukan oleh Tuhan dalam Sakramen Perkawinan, sehingga terikat seumur hidup. Fokus kita jelas ada pada persatuannya yang sudah dipersiapkan dan diteguhkan oleh cinta kasih pasangan putera dan puteri.

Maka Tuhan menjadi kekuatan dan pengikat pasangan yang saling mencintai dan menjadikan mereka suami dan isteri selamanya. Begitu pula anak-anak yang dibawa kepada Yesus, sebagai sumber cinta kasih yang akan menyertai kehidupan mereka.

Ikatan dengan Tuhan menjadi sumber kekuatan dalam kehidupan kita sebagai keluarga dan sebagai anak-anak Allah. Kita hanya bisa hidup dalam kesatuan dengan Tuhan.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku menghidupi janji perkawinanku dengan sepenuh hati?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here