MENYEDIHKAN. Ternyata sejarah umat manusia dibuka dengan “kekerasan”.
Kurban persembahan Kain tak diterima Tuhan. Asapnya hitam pekat dan berputar-putar di sekelilingnya. Sementara kurban adiknya, Habel, berwarna putih, naik membumbung ke langit.
“Kain, mengapa hatimu panas dan mukamu muram?” (Kejadian 4:6).
Diajaknya Habel ke tempat sepi di tengah ladang. Kepalanya dipukul dengan tongkat kayu hingga tewas. Itulah “kekerasan” pertama yang dicatat dunia.
Sejarah umat manusia baru saja ditulis. Namun kekerasan telah mencatat kemenangan dengan skor 1-0.
Kekerasan yang satu disusul yang lain. Begitu seterusnya, sampai sekarang, sekian ribu atau juta tahun sesudahnya.
Tak hanya kekerasan Kain-Habel yang ada di Kitab Suci. Kisah kota Sodom dan Gomorrah ada di sana.
Perjalanan Musa memimpin umatnya ke tanah yang dijanjikan, juga diwarnai kekerasan.
Kitab Baratayudha dan Ramayana tak luput dari kekerasan. Perang antar kerajaan yang satu dengan yang lain. Tokoh yang satu dengan yang lain. Amarta melawan Astina. Rama versus Rahwana.
Buku-buku sejarah idem ditto. Cerita dramatis ditulis pada masa Kerajaan Kadiri atau Kediri atau Panjalu, 1042-1222. Kekerasan disulut dendam kesumat dan turun temurun, bak berbalas pantun.
Drama keris pusaka buatan Mpu Gandring mencatat noda kelam penuh petaka. Keris sakti memakan korban tujuh Raja Kediri berurutan, setelah sebelumnya membunuh pembuatnya. Ken Arok tak sabar menunggu keris usai seutuhnya.
Ken Arok, penjahat berbaju politikus, menghabisi Tunggul Ametung, petahana Raja Kediri. Gayung bersambut, dia dibalas mati oleh anak Ametung, Anusapati. Delapan nyawa terbang hanya karena dendam yang dipendam. Cerita panjang dan berliku dengan satu tema, “kekerasan”.
Dalam ranah global, Perang Dunia I dan II tak kalah kejam dan merata hampir seluruh muka bumi. Membentang dari barat ke timur, dari utara ke selatan. Korban nyawa manusia mungkin puluhan juta.
Bangsa Amerika tak luput dari kekerasan demi kekerasan. Perang Saudara, 1861–1865, memakan 600 ribu korban tewas. Saking dahsyatnya, perang ini mempunyai banyak nama. Perang antar negara bagian, Perang Utara Selatan, atau Perang Uni Serikat.
Di Benua Eropa, bunuh-membunuh antar agama, Katolik lawan Protestan, berlangsung lebih dari seratus tahun (1524-1648). Sama-sama berdalih “demi Tuhan”, menggenggam Kitab Suci yang sama dengan junjungan yang sama pula. Meneriakkan nama-Nya sambil menyiksa dan membunuh ciptaanNya. Ironis.
Kembali ke Amerika. Martin Luther King Jr., pejuang anti diskriminasi rasial, dibunuh James Earl Ray pada tahun 1968, di lantai 2 Balkon Lorraine Motel, Memphis.
Dia sedang pidato tentang prinsip anti-kekerasan dalam memperjuangkan ketidak-adilan, racial inequality. Miris, pejuang kemanusiaan dengan prinsip anti-kekerasan tewas diterjang peluru tepat di tengah kepalanya.
Sekaligus, ucapannya terbukti.
“The choice is no longer between violence and nonviolence, but between nonviolence and nonexistence”. (Martin Luther King Jr.)
Sejarah Amerika harus menundukkan kepala untuk empat presidennya yang tewas dibunuh. Bermula dari Abraham Lincoln (1865), sampai John F. Kennedy (1963). Amerika mengaku mampu menjaga negaranya dengan bom nuklir paling canggih di dunia, tapi tak kuasa menjaga presiden-presidennya dari serangan teroris.
Di El Savador, America Latin, Uskup Agung Gereja Katolik, Mgr. Oscar Arnulfo Romero, ditembak mati saat mempersembahkan misa di kapel La Divina Providencia (1980).
Romo Arnulfo dikenal sebagai pejuang pembela rakyat kecil, terutama buruh tani, tapi dibenci oleh tuan-tuan tanah yang didukung pemerintahan militer. Kematian menjadi hadiah terindah untuk jasa-jasanya.
Tak cukup bila daftar kekerasan ditulis di atas ribuan atau jutaan lembar kertas putih. Kekerasan tak mungkin dihilangkan, mungkin malah meningkat kuantitas dan kualitasnya, lebih masif, sistematis dan terstruktur.
Siapa yang “dituduh” sebagai penyebab kekerasan?.
“Sikap intoleransi adalah awal mula seseorang berubah menjadi pelaku tindak pidana kekerasan dan terorisme”. (Setara Institute – Kompas.com, 19 Mei 2018 : 10.37 WIB).
Teror lahir dari kebencian, benci lahir dari absennya toleransi. Hindari menepuk dada seakan paling benar, bangun inklusivitas, hormati dan rayakan perbedaan.
Tiba-tiba teringat pesan Bunda Teresa dari Calcutta, India, tentang resep mujarab untuk menjalin toleransi, memadamkan kebencian, dan menghilangkan kekerasan.
“Let us not use violence, guns and booms to overcome the world. Let us use love and compassion. Peace begins with a smile. Smile five times a day at someone you don’t really want to smile at; do it for peace”.
Tak terkecuali, kekerasan yang tiga hari lalu menimpa bangsa melalui penganiayaan terhadap seorang tokoh keberagaman. Apa pun alasannya, perbedaan pendapat tak pantas diselesaikan dengan kekerasan. Ia tak akan menyelesaikan masalah, melainkan hanya menundanya saja. Kemudian membesar dan semakin membesar. Tak ada yang diuntungkan, kecuali kekerasan itu sendiri.
Lantas, bagaimana seharusnya seseorang menyikapi kekerasan? Apa karena “jauh”, maka tak ada gunanya ikut-ikutan terlibat? Apakah ada manfaatnya bila hanya mampu berucap lirih untuk melawan kekerasan meski tak terdengar oleh siapa pun juga?
Pengalaman seorang pastor Jerman, Martin Niemoller (1892-1984), tentang akibat dari keacuhannya terhadap kekerasan, bisa menjadi pelajaran.
Romo Martin adalah pendukung setia Nazi yang sedang jaya, kemudian sungguh menyesal. Dia sadar bahwa mendukung kekerasan, ketidak-adilan, kedzoliman atau tindakan semena-mena, atau mungkin hanya mendiamkannya saja, pada waktunya akan menyerang balik.
Korban pertama, kedua, ketiga atau kesepuluh mungkin bukan kita. Tetapi korban keseratus, bisa jadi, saya.
Kutipan Romo Martin ditulis di banyak tempat. Salah satunya di United States Holocaust Memorial Museum, Washington DC.
First they came
First they came for the communists,
And I didn’t speak out because I wasn’t a communist.
Then they came for the trade unionsts,
And I didn’t speak out because I wasn’t a trade unionst.
Then they came for the Jews,
And I didn’t speak out because I wasn’t a Jew.
Then they came for me,
And there was no one left to speak out for me.
Pesan itu menggambarkan bagaimana kekuasaan kejam menghancurkan kaum komunis. Romo Martin, sebagai agamawan yang berdiri frontal head to head dengan komunis, justru mendukung Nazi. Begitu pula ketika Nazi melakukan ketidak-adilan terhadap trade unionst, dan kemudian menyiksa kaum Yahudi. Gereja masih tetap bergeming.
Mereka menganut prinsip: “Lawan dari musuhku adalah temanku.” Tak peduli bagaimana sikap dan perangai “temanku” itu.
Ketika komunis, trade unionst dan Yahudi habis tergilas, maka Gereja Katolik menjadi sasaran berikutnya. Giliran itu akhirnya tiba, buah dari diamnya hirarki Gereja, terhadap kebrengsekan Nazi.
Diam terhadap ketidak-adilan yang kini berseliweran sebagai berita-utama di media massa, pasti akan menjadi bumerang.
Ketika kita tak peduli terhadap kejahatan di tengah masyarakat; ketika kita diam seribu-basa terhadap korban yang dianiaya dan ditelanjangi di tempat umum; ketika kita “pura-pura” meleng terhadap diskriminasi dalam bentuk apa pun; dan masih banyak “ketika kita”.
Silakan berdalih karena bukan bagian dari sang korban. Bukan yang dikhianati. Bukan yang didzolimi dus sah kalau diam saja. Tunggu tanggal mainnya, ketika peran bertukar menjadi “korban First They Came” versi Romo Martin, entah kapan.
Ada kisah kekerasan yang pada hari ketiga berubah menjadi Pesta Kebangkitan. Itulah Kematian dan Kebangkitan Yesus Kristus.
Kisah sengsara Yesus, tidak hanya mengisahkan tentang “kekerasan” dan “kematian”, tetapi juga “Keselamatan” dan “Kemenangan”.
Itulah satu-satunya “kekerasan” yang menjadi hikmah bagi umat manusia.
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah”. (Yohanes 12:24).
Selamat Paskah 2022.
@pmsusbandono
14 April 2022