MEMBAYANGKAN nama tokoh dalam suatu cerita, saya teringat kepada SH Mintardja atau lengkapnya Singgih Hadi Mintardja. Seorang maestro penulis cerita silat dengan setting kerajaan Mataram zaman dahulu.
SH Mintardja yang lahir di Yogyakarta itu telah menulis lebih dari 400 buku. Cerita berseri terpanjangnya adalah Api di Bukit Menoreh yang terdiri dari 396 seri, jilid.
Saya mengenal salah seorang cucu dari SH Mintardja. Dari cucunya saya tahu bahwa ternyata SH Mintardja adalah seorang jemaat GKJ (Gereja Kristen Jawa) dan beliau telah dipanggil Tuhan pada tahun 1999 lalu.
Sebagai penganut Kristen, almarhum SH Mintardja sering menyelipkan kata-kata ini di dalam karya bukunya, “Tapi semua memang kehendak Yang Maha Agung. Kita tidak dapat menolaknya”.
Tentu, saya yakini bahwa itu salah satu wujud kepasrahan dari SH Mintardja kepada Yesus yang beliau imani.
Bicara tentang nama tokoh dalam cerita, pada salah satu karyanya, SH Mintardja menghadirkan suatu sosok terkenal yang bernama Mahesa Jenar, seorang prajurit kerajaan yang sakti mandraguna. Tokoh Mahesa Jenar ada dalam karya SH Mintardja yang berjudul Nagasasra dan Sabuk Inten.
Tokoh-tokoh dalam Perumpamaan dari Yesus
Pada sisi lain, kalau kita ingat kepada cerita-cerita dan perumpaan Tuhan Yesus dalam kitab suci, tampaknya kita lebih sering temukan tokoh yang tidak secara spesifik disebut namanya oleh Yesus.
Beberapa yang bisa kita tahu misalnya, perumpamaan dua orang buta; perumpamaan seorang penabur; perumpamaan orang-orang upahan di kebun anggur; perumpamaan dua orang anak; perumpamaan hamba yang setia dan hamba yang jahat; perumpamaan gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh; orang Samaria yang murah hati; perumpamaan orang yang meminjam roti; perumpamaan tentang anak yang hilang; dan masih banyak lagi perumpamaan lainnya yang mana tidak disebutkan nama sang tokoh secara jelas.
Atau kalau kita membaca dalam kutipan Injil hari Minggu, 30 Juli 2023, ada perumpamaan tentang seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah, ketika Yesus mengajarkan tentang gambaran Kerajaan Surga.
Sri, Bejo, dan Mukidi
Ada hal khusus yang menarik dan akan saya paparkan pada beberapa paragraf akhir tulisan ini.
Berdasar pengalaman dan apa yang saya temui, ternyata ada beberapa imam atau romo yang memiliki kekhasan tertentu ketika sang imam membawakan sebuah cerita yang menjadi bagian dari homilinya.
Di dalam cerita-ceritanya, para romo ini mempunyai tokoh kiasan tertentu yang namanya ada dan selalu sama. Ibarat sebuah iklan minuman, “Apa pun makanannya, minumnya..”
Sejauh ini, sepengetahuan saya, ada dua orang romo.
Pertama, Rm. Agustinus Ariawan Pr (Pastor Paroki kami di Gereja St. Paulus, Pringgolayan, Banguntapan, Bantul).
Romo Ari, begitu biasa beliau disapa, kalau menyampaikan sebuah cerita dalam homili pasti memunculkan tokoh perempuan yang bernama Sri. Apa pun jenis maupun tema ceritanya, Sri selalu hadir.
Demikian pula pada sosok kedua yang merupakan Pastor Paroki Gereja Kristus Raja Baciro, Yogyakarta, Romo Franciscus Xaverius Alip Suwito Pr.
Nama tokoh yang selalu muncul dalam cerita Romo Alip adalah Bejo dan Mukidi.
Sri, Bejo, Mukidi itu sangat fleksibel dan bisa menjelma menjadi beragam karakter. Sekali waktu mampu menjadi tokoh protagonis dan lain kesempatan sebaliknya hadir sebagai sosok antagonis. Tokoh-tokoh itu bisa tampil humoris, lugu, alim, bahkan culas.
Dari penggambaran cerita lewat tokoh Sri, Bejo, Mukidi bisa membuat umat tertawa dan terhibur atau bahkan bisa sampai tertegun kalau pesan ceritanya adalah sebuah teguran maupun satire.
Model dan gaya pewartaan memang berbeda dan bisa dengan banyak cara. Kita percaya bahwa kehadiran tokoh-tokoh fiktif seperti Sri, Bejo, Mukidi dalam sebuah homili tentu sekadar untuk membantu agar pesan dari bacaan firman Tuhan akan lebih mudah diterima dan dicerna oleh umat.
Terimakasih kepada para tokoh riil dalam tulisan ini yang memberikan inspirasi bagi saya: SH Mintardja, Romo Ari, dan Romo Alip.
Cuma, masih ada rasa penasaran, maka suatu saat saya akan mencoba bertanya kepada Romo Ari alasan apa memilih nama Sri?
Demikian juga kepada Romo Alip, kenapa pakai nama tokoh Bejo dan Mukidi?