PAGI itu, aku tiba di kampus dengan sepeda tuaku untuk memulai kuliah hari pertama. Hati kecilku empot-empotan, menyaksikan rupa-rupa wajah dari berbagai kelas sosial, suku, ras, agama, bahasa, pulau bahkan negara. Banyak pria dan wanita melintas di depanku.
Mereka memegang buku-buku tebal, sembari berbincang-bincang tentang tugas-tugas yang sebentar lagi akan dipresentasikan di kelas.
“Diriku sedang memasuki sebuah dunia yang lain, yakni keberagaman,” bisikku dalam hati.
Rasanya menarik serentak menantang. Seorang wajah baru seperti aku butuh nyali dan pemahaman ekstra untuk berasimilasi dengan lingkungan dan orang-orang lama di kampus.
Tak lama kemudian, Tehek dan Kando, dua kakak senior menghampiriku.
“Adik harus semangat memulai kuliah di hari pertama. Kakak telah melaluinya, beberapa tahun yang lalu,” ujar Kando sambil memukul bahuku.
“Bang sudah menyelesaikan kuliahnya?”
“Kami baru saja tanda tangan skripsi di sekretariat.
Itulah kulaih terakhir kami di kampus ini. Good luck!”
Tiba-tiba bel kampus berdering. Lonceng elektronik itu adalah pemberitahuan simbolik bahwa semua mahasiswa dan dosen mesti masuk ke ruangan kuliah atau mesti keluar dari kelas.
“Aku masuk ke kelas dulu, Bang. Sampai ketemu lagi.”
“Jangan resah. Biasanya, kuliah hari pertama hanya perkenalan semata. Kalau cepat pulang kuliah hari ini, beri kami kabar supaya kita pergi mancing di telaga,” pinta Tehek.
“Ok kaks.”
Aku bergegas menuju ke dalam kelas. Seorang dosen yang sudah sepuh, masuk ke dalam ruangan kuliah. Parasnya sudah tidak lagi elok. Tapi, ia satu-satunya yang tersohor di kampus itu.
“Namaku Prof. Jack Arank. Tapi, aku bukan arang hitam,” ia memperkenalkan diri kepada kami sambil guyon.
“Hahahahaha … Huuuuuuuuuuuuuu,” riuh seluruh mahasiswa.
Banyak muridnya telah menjadi orang-orang penting dan hebat baik di institusi-institusi pemerintah maupun di parlemen Republik Patarata. Ia mengasuh mata kuliah sejarah klasik dan etika politik.
Kata orang bahwa Jack Arank adalah sosok yang saleh, jujur, arif, empati, suka merangkul, periang, mencintai keadilan dan mengakui adanya Tuhan dengan segenap hati dan perasaannya. Pengetahuannya luar biasa bestari.
Lantaran kepribadiannya yang nyaris sempurna, ia biasa diundang memberi ceramah ilmiah di dalam dan luar negeri. Sudah beberapa kali rakyat memintanya untuk menjadi pemimpin negeri Patarata tapi, ia selalu menolak. Pagi itu, ia membuka kuliah semester pertama di kelas tentang sejarah Republik Patarata.
“Nama Republik Patarata dikutip oleh pendiri negeri ini dari sebuah kitab purba yang tersimpan dalam perpustakaan para dewa. Patarata artinya kebebasan, keadilan, kemakmuran, kesetaraan bagi semua rakyat, ras, suku dan agama.
Tujuan utama dan pertama Republik Patarata didirikan ialah untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut. Patarata merupakan negeri titipan para dewa di seberang lautan yang berdiri kokoh di atas fondasi demokrasi, setelah Athena di Yunani. Namanya sudah lama termasyhur di antero dunia,” terangnya.
Bel kampus berdering untuk kedua kalinya. Pak Jack Arank, meminta kami untuk menarik nafas sebentar di teras. Ia juga keluar ke teras. Sementara bercerita dengan beberapa mahasiswi, mulutnya memamah manisan.
Ia mengeluarkan manisan dari saku jaketnya, lalu membagikannya kepada kami semua. Sepuluh menit kemudian kami kembali ke dalam kelas. Ia duduk di kursi dan melanjutkan penjelasannya.
“Dunia sudah tahu bahwa warga Republik Patarata adalah orang-orang terberkati karena kekayaan alamnya dan atmosfir demokrasi nian kuat, sekuat cadas. Pada masa silam, para penjajah hidung belang dari benua putih ingin menganeksasi dan merampok segala kekayaan negeri Patarata. Tapi, atas perlindungan dewa perang, tentara Republik selalu mematahkan agresi-agresi jahanam mereka.
Setelah kekuatan kolonial ripuk berkeping-keping di tangan tentara Republik, muncul lagi setan komunis. Mereka sangat bernafsu ingin mengganti ideologi dan nama Republik Patarata. Tapi, rencana bejat mereka gagal. Tentara Republik berhasil mengganyang mereka hingga ke sarang-sarangnya. Namun, akhir-akhir ini isu hantu komunis itu kembali hidup dan menjadi polemik sengit di Republik ini.
Kalian adalah calon-calon pemimpin masa depan negeri ini. Saya berharap, jika kalian menjadi pemimpin nanti, maka pimpinlah bangsa ini sesuai dengan garis nama Republik Patarata dan semangat demokrasi! Les kita cukup sampai di sini saja. Sampai bertemu pekan depan. Mari kita pulang,” pintanya.
Kami segera meninggalkan ruangan kuliah. Kuangat sepeda tuaku menuju ke warkop (warung kopi) Pak Rukuno. Setiba di sana, kupesan secangkir kopi.
Bu Kandida segera menghantar pesananku. Sementara mereguk kopi, tiga pemuda masuk ke warkop. Wajah mereka tampak anggara. Agak liar dan tergopoh-gopoh seperti sedang dikejar polisi.
“Kopi tiga gelas, pisang goreng enam buah dan rokok Sampoerna tiga bungkus!” pesan salah satu pemuda berambut gimbal dengan tergesa-gesa kepada Bu Kandida.
“Maaf, mau ke mana, Nak? Kok, buru-buru amat, sih?” tanya Bu Kandida.
“Kami mau ke ibukota. Ada urusan demo di sana sore ini.”
“Memangnya ada masalah apa, Nak?”
“Negeri ini sedang dinakhodai oleh seorang pemimpin berhati iblis. Perdana Menteri Monte Malo dan seluruh pejabat tingginya korup, ingkar janji, menindas rakyat yang kritis dan memproduksi hukum yang hanya menguntungkan kepentingan elit dan para kapitalis.
Rakyat harus bersatu menarik turun Monte Malo dari kursi kekuasaannya!”
“Hati-hati ya, Nak.”
Ketiga pemuda itu duduk semeja denganku. Kami saling menyapa dengan hangat. Mereka adalah aktivis yang selama ini melawan ketamakan dan ketidakadilan yang diciptakan oleh rezim Monte Malo. Tak lama berselang pesanan mereka tiba di atas meja. Mereka segera menggeramusnya. Kopi di gelasku habis.
Telepon selulerku berdering. Sebuah pesan singkat berlabuh di kotak masuk. Kubaca pesan itu. Ah, ternyata permintaan Tehek dan Kando supaya kami segera ke telaga. Aku segera pamit dari mereka. Kuangkat sepeda tuaku, lalu bergegas menuju ke rumah.
Kando dan Tehek sudah sedang menungguku di rumah. Lantas, kami bersepeda menuju ke telaga, mengisi waktu luang dengan berkreasi mencari lauk untuk ibu di rumah. Nasib cukup mujur hari itu. Mata kail kami berhasil menjerat ikan-ikan besar.
Mentari mulai terlingsir ke ufuk barat. Kami meninggalkan telaga dan sepakat untuk mampir ke warkop guna menghilangkan rasa dahaga dan lapar sebelum ke rumah. Tehek memesan tiga cangkir kopi dan sepiring gorengan yang masih panas.
Sementara menikmati kopi hangat dan memamah gorengan, nongol di layar televisi ribuan orang membakar ban-ban bekas di persimpangan jalan ibukota. Hasratku untuk melahap gorengan enak itu terhenti seketika.
“Apa yang terjadi di ibukota, Pak Rukuno?” tanya Tehek.
“Tadi sore terjadi demo besar-besaran di ibukota. Ada tiga pemuda yang tadi pagi sempat mampir minum kopi di warkop, ikut serta dalam demo itu.”
Asap hitam tebal mengepul ke udara. Langit ibukota tiba-tiba mendung laksana akan segera turun hujan. Asap pekat itu menyebabkan tingkat polusi udara di ibukota langsung naik ke peringkat pertama dunia mengalahkan negara-negara industri besar. Aksi demo sore itu meyulut amarah tentara Republik.
Dengan kejam singa-singa buas Republik mengguyurkan butir-butir peluruh ke arah ratusan aktivis, buruh, petani dan mahasiswa yang sedang berteriak menuntut keadilan sosial, kebebasan berpendapat, kesetaraan dalam politik, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang masif, peneggakkan hukum yang tidak adil dan pengunduran diri Perdana Menteri Monte Malo.
Insiden itu menyebabkan banyak pendemo terluka parah dan beberapa di antaranya meninggal dunia, termasuk salah satu dari tiga pemuda yang pernah singgah ke warkop Pak Rukuno. Bercak-bercak darah segar berceceran memerahkan jalan-jalan ibukota.
Tangisan keluarga korban pecah, lengking membelah langit, meminta pengadilan kepada dewa keadilan atas petaka berdarah itu. Terlalu sedih menyaksikan berita keji tersebut. Sampai-sampai Bu Kandida meneteskan air matanya.
“Kegentingan situasi politik dan keamanan Republik hari ini, gara-gara demo brutal para aktivis, buruh, petani dan mahasiswa. Mereka sedang mencari popularitas diri agar nanti namanya dicatat dalam sejarah Republik Patarata sebagai aktivis kemanusiaan dan martir keadilan.
Demo biadab seperti ini adalah tindakan kriminal dan makar,” ujar Panglima Angkatan Bersenjata Republik Patarata dalam siaran pers dengan nada gusar.
“Nak, ini pertanda sangat buruk. Mengancam stabilitas politik dan menjimak semangat demokrasi. Negeri Patarata sedang dalam bahaya kerusuhan,” ujar Pak Rukuno kepada kami.
Perdana Menteri nongol di layar televisi melakukan konferensi pers menanggapi aksi demo tersebut. Beberapa Menteri mengapitinya dari samping kiri dan kanan. Ia mengeluarkan titah terkerasnya.
“Hari ini, para pengacau mengganggu kekuasaan yang sah dan menciptakan ketidakamanan bagi seluruh warga Republik Patarata.
Saya perintahkan kepada militer dan kepolisian agar bergerak cepat membersihkan orang-orang jorok tersebut dari negeri ini!” ujar Monte Malo dalam jumpa pers di istana.
Jam malam diberlakukan. Militer dan polisi disiagakan dengan ketat di seluruh negeri. Para pendemo ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan makar. Republik titipan para dewa itu lumpuh.
Seluruh aktivitas mandek. Wajah ibukota yang biasanya ramai sekonyong-konyong nyenyat bagaikan kota mati. Jiwa-jiwa malang yang dilarang masuk surga akibat utang dosa yang menumpuk nongkrong di bangku-bangku taman kota pada malam hari.
“Dulu tak pernah ada huru-hara semacam ini. Semua hidup damai, tentram dan sejahtera. Beberapa tahun terakhir ini demokrasi dalam negeri Patarata tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Orang-orang yang berkuasa adalah kaum elit dan berduit.
Sesudah masa jabatannya selesai, mereka akan mencalonkan istri, anak, menantu atau keluarga dekatnya dalam pemilihan pemimpin. Dan, sudah biasa orang-orang itu pasti akan menang karena punya pengaruh dan duit untuk membeli suara rakyat. Setan telah dan sedang bermain dalam politik Republik Patarata. Bagaimana pendapat kalian tentang situasi negeri ini yang sedang sakit?” tanya Pak Rukuno.
“Protes itu terjadi karena angin menghembuskan bau busuk moralitas Perdana Menteri Monte Malo dan para pejabat istana yang telah melenceng jauh dari makna nama Republik Patarata dan nilai-nilai demokrasi,” ungkap Tehek.
“Apa yang salah dengan Monte Malo dan para pembantunya?” tanyaku.
“Kesalahan fatal Monte Malo ialah ia gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat seperti yang pernah dijanjikannya tiga tahun lalu sebelum Pemilu. Lagi, kebebasan berpendapat dipretel, praktik ketidakadilan, korupsi, kolusi dan nepotisme sudah terlalu gila di Republik ini.”
“Hati-hati. Jangan terlalu gamang nongkrong berdiskusi tentang politik Republik Patarata! Aparat keamanan biasanya bekerja ekstra dalam suasana krisis seperti ini,” bisik Pak Rukuno dengan lirih.
“Jangan gelisah. Republik ini dibangun di atas fondasi demokrasi. Kita harus bersuara terhadap ketamakan Perdana Menteri Monte Malo lantaran ia dipilih oleh rakyat. Ia sudah sedang memperagakan paradigma politik tiran, di atas negeri yang sejak lahir ditenun dengan motif demokrasi. Kritik adalah wajib dialamatkan kepada Monte Malo.
Hal itu bukan berarti kita membencinya. Tapi, kita ingin meluruskan pemerintahannya supaya ia memimpin kita dengan baik dan adil demi kemakmuran rakyat dan seluruh isi istana seperti yang diperintahkan oleh konstitusi,” tandas Kando.
“Jika demikian, silahkan dilanjutkan diskusinya dengan penuh waspada.”
Tak terasa hari mulai magrib. Aroma racikan kopi Bu Kandida terus saja menggoda. Tehek kembali memesan tiga cangkir kopi untuk kedua kalinya. Dengan segera, Bu Kandida meletakkan tiga cangkir kopi di atas meja.
“Bagaimana kalau kita utak-atik problem sosial politik Republik Patarata yang sedang sakit saat ini? Apa definisi politik yang paling tepat untuk Republik Patarata?” tanyaku.
“Ketika duduk di bangku kuliah semester pertama, seorang dosen yang selalu gagal melaju ke parlemen Republik Patarata menjelaskan bahwa politik artinya cara yang paling baik untuk mengatur kehidupan rakyat supaya menjadi baik, adil dan sejahtera,” ujar Kando.
Kata Tehek, “Politik yang aku tahu dari halaman sampul sebuah buku yang bahasanya terlalu rumit mengatakan bahwa dalam politik orang mesti bergaul dengan setan, namun orang harus yakin bahwa ia menipu setan itu, bukan sebaliknya.”
“Kedua pendapat ini sangat berbobot. Aku sepakat dengan penjelasan kalian. Tapi, aku sangat tertarik pada pendapat Tehek. Itu bukan berarti pendapat Kando salah. Tidak. Alasanku tertarik pada ide kedua lantaran idenya sangat sinkron dengan situasi riil dalam Republik Patarata.”
“Maksudmu?” tanya Kando.
“Perdana Menteri Monte Malo dan semua Menterinya sedang bergaul dengan setan. Sayangnya, mereka tidak mampu mempengaruhi setan. Karena itu, iblis dengan mudah menipu mereka, lalu memberi mereka pil egoisme, opium hedonisme dan anggur keserkahan.”
“Apa urusan setan dengan politik dalam Republik Patarata?” tanya Tehek.
“Ya, urusan setan dalam politik Republik Patarata ialah meracuni pikiran dan hati Monte Malo dan para pejabatnya supaya mereka menjadi pribadi-pribadi yang egois, rakus, serakah, gemar mencuri duit rakyat, kebal salah dan kejam terhadap kritikan rakyat. Perhatikan.
Negeri yang suci ini, tiba-tiba saja penuh dengan drama korupsi yang sangat masif, sandiwara hukum yang tidak adil, politik dinasti dan penindasan semena-mena terhadap rakyat yang kritis. Begitulah cara setan bekerja, dan tuan Perdana Menteri itu sungguh sedang mabuk anggur keserakahan.”
“Analisamu sangat baik, Nak,” ujar Pak Rukuno.
Hari semakin kelimut. Suasana di luar lengang. Jam malam hampir tiba. Militer dan polisi akan segera melakukan patroli malam. Kami segera pamit kepada Pak Rukuno dan Bu Kandida.
Tapi, Kando belum sempat membayar harga kopi Bu Kandida, sekonyong-konyong terdengar riuh mobil patroli tiba di depan warkop. Dalam sekejab para serdadu Republik mengepung dan menggeledah warkop.
“Jangan bergerak, bangsat. Tangkap mereka.”
Perintah kepala pasukan kepada anak buahnya untuk menangkap kami.
Beberapa serdadu mendekati kami. Dengan kejam mereka menghujani tubuh kami dengan ujung senjata. Lalu, memborgol tangan kami.
“Kalian adalah anjing-anjing pengacau dan teroris yang akan merusak Republik Patarata,” salah seorang serdadu mengumpat kami.
Situasi dalam warkop tegang dan berantakkan. Bu Kandida kalut melihat meja dan kursi warkopnya diporak-porandakan oleh para serdadu jahanam tersebut. Bulu badanku merinding. Aku menggigil seketika. Lantas, kami dibawa ke kantor polisi.
Lalu, dijebloskan ke dalam jeruji besi atas tuduhan makar, sama seperti para pendemo di ibukota. Nasib kami mirip dengan para pekerja rodi di zaman kolonial. Nyaris mati, disiksa dalam penjara.
Sejak dua kejadian brutal tersebut, seluruh rakyat, media dan para pegiat hak asasi manusia membanjiri ibukota selama berhari-hari. Mereka menuntut agar Monte Malo segera lengser dari kursi empuk Perdana Menteri.
Atas desakan bertubi-tubi pemimpin serakah tersebut akhirnya turun dari takhta kekuasaan. Lagu kemenangan atas rezim yang lalim dikumandangkan di seluruh penjuru negeri.
Seluruh rakyat dan parlemen Republik Patarata kembali mendesak Prof. Jack Arank supaya ia bersedia menjadi Perdana Menteri Republik Patarata. Demi pemulihan nama Republik Patarata dan menyelamatan demokrasi, kali ini Jack Arank tidak lagi menolak permintaan rakyat.
Dengan hati ikhlas, ia bersedia naik takhta Republik Patarata. Pada hari pelatikkannya di hadapan rakyat ia bernazar dengan mustakim dan lantang.
Katanya, “Saya bersumpah demi Tuhan dan rakyat bangsa ini bahwa antek-antek setan yang selama ini menghianati prinsip demokrasi dan nama Republik Patarata akan kubabat sampai ke akar-akarnya dan kusingkirkan dari panggung politik Republik Patarata.”
Sang Profesor makbul menakhodai kapal Republik Patarata hingga tiba di dermaga kejayaan, lantaran ia memerintah sesuai dengan kuliah sejarah yang pernah dijelaskannya kepada kami di dalam ruangan kelas pagi itu.*
Chile, November, 2020