DALAM sebuah sesi Program “Bincang-bincang Panjang” dengan Titch TV di “Griya Anselma” Susteran FSGM Pringsewu, Lampung, Sabtu 25 Maret 2023, Ketua JPIC (Justice, Peace, Integrity of Creation) FSGM Indonesia, Sr. M. Katarina FSGM memberi catatan kritis.
“Kaum muda mulai sekarang perlu semakin mengakrabi isu-isu embracing gender equality,” katanya menjawab Ping dari Titch TV di Lampung. Karena, agen perubahan itu adalah kaum muda.
Ia juga bicara panjang lebar tentang kasus-kasus kekerasan seksual.
Urgensi demi masa depan
Pendidikan tentang keadilan dan kesetaraan gender, kata suster biarawati FGSM asal Paroki Wedi, Klaten, perlu sejak dini diajarkan dan dipopulerkan di antara calon imam.
“Sejak di seminari-seminari. Setidaknya sedari usia muda, para calon imam itu diajari untuk berlaku dan bersikap hormat terhadap kaum perempuan,” kata Sr. Katarina FSGM.
“Contoh paling sederhana adalah apakah mereka bisa bersikap hormat akan martabat perempuan itu kepada ibu kandungnya sendiri?” kata suster yang menjalin kontak erat dengan jaringan kerja penggiat keadilan dan kesetaraan gender.
“Karena pelaku kekerasan seksual itu bisa siapa saja,” tegas Sr. M. Katarina FSGM.
Nabrak tembok
Sr. M. Katarina FSGM kemudian menandaskan pentingnya isu keadilan dan kesetaraan gender itu semakin sering diperbincangkan kepada para seminaris di rumah-rumah pendidikan calon imam.
Mengapa, karena ia sering menerima pengaduan atas kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual dengan korbannya kaum perempuan remaja, muda, dewasa.
Meskipun masih terus berupaya untuk misi kebaikan itu, tegasnya, dia mengaku sering sekali harus menabrak “tembok” tebal.
Kenapa artikel yang sudah diedit ini banyak sekali narasi yg dikerdilkan dari artikel asli?
Semalam setelah beberapa waktu artikel ini diterbitkan, masih bisa dibaca beberapa substansi penting, lugas & gamblang:
1) narsum mengatakan bahwa tindakan pelecehan terhadap perempuan dilakukan juga oleh para pastor, dalam hal ini narsum mengatakan adanya aduan umat yg mengeluhkan “pastor2 yg suka memeluk umat di kamar pengakuan setelah penerimaan sakramen”.
2) bahwa narsum terus mencoba memperbaiki kondisi ini walaupun harus menembus ” Tembok Tebal” yg adalah Hierarki Gereja, dimana tiap uskup dan keuskupan punya cara “masing2” untuk menangani kasus yg ada di keuskupan nya.
Apakah jiwa “memelintir berita dan memperhalus narasi” yg biasa dilakukan media komersil juga sudah biasa pada jurnalisme Katolik? Apakah rasa hormat & feodalisme kepada hierarki & nama baik nya harus mengalahkan ajaran Sang Guru: “jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak; selebihnya daripada itu datang dari si jahat”? apakah ini alibi dari semboyan “firmo in re suaviter in modo”?
Mana yg lebih penting: titipan Nunciatura & KWI atau kesehatan pengetahuan umat secara berintegritas & berimbang?
Sesuatu yg ditutup-tutupi selalu mengandung perkara yg lebih besar & kronis, jangan hanya lantang menyuarakan yg baik2 saja, jaman Orde Baru sudah lewat bung! integritas kok abu2.
terima kasih atensinya.