Senin, 16 September 2024
KETULUSAN hati merupakan sikap memberi tanpa pamrih. Ketulusan hati tidak pernah mengharap balasan atau imbalan atas semua yang telah dilakukan. Ketulusan tersebut muncul dari dalam lubuk hati yang paling dalam.
Dengan ketulusan hati orang bisa menerima segala sesuatu dengan apa adanya. Orang yang benar-benar tulus hati biasanya tidak akan peduli dengan keadaan diri sendiri.
“Semua karena kemurahan hati Tuhan,” kata seorang bapak.
“Sejak ibu sakit dan tidak bisa melakukan apa pun tanpa bantuan orang lain, saya berusaha sepenuh hati bertanggungjawab atas keadaan ibu.
Saudara-saudaraku dengan berbagai alasan menghindari tanggungjawab atas ibu. Saya merasa tidak punya alasan untuk tidak bertanggungjawab atas ibu. Karena ini bakti dan cintaku padanya, meski saya juga banyak kekurangan dan permasalahan yang harus saya hadapi setiap hari.
Apa yang aku kuatirkan soal biaya dan keadaan ibu, dalam perjalanannya tidak menjadi masalah, karena banyak kasih Allah yang tercurah melalui berbagai cara.
Usahaku yang sebelumnya berjalan pelan, berubah menjadi baik dan lancar hingga ada keuntungan yang cukup untuk kebutuhan kami sekeluarga dan secara khusus untuk kebutuhan pengobatan ibu.
Tuhan itu Mahapengasih, Dia tidak akan tinggal diam pada hamba yang menjalankan kehendak Tuhan,” urainya
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku; sebab itu aku juga menganggap diriku tidak layak untuk datang kepada-Mu. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.”
Dalam kisah ini, kita diperkenalkan kepada seorang perwira Roma yang memiliki seorang hamba yang sedang sakit. Perwira ini, meskipun bukan seorang Yahudi, menunjukkan iman dan kepedulian yang luar biasa.
Ia mendengar tentang Yesus dan percaya bahwa Yesus memiliki kuasa untuk menyembuhkan hambanya. Dia percaya pada kuasa Tuhan meskipun dia merasa tidak layak dan mengakui keterbatasan dirinya.
Imannya yang tulus dan rendah hati membuktikan bahwa keyakinan akan otoritas Tuhan dapat membawa perubahan besar bahkan dalam situasi yang tampaknya mustahil.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa iman yang benar tidak hanya tentang percaya kepada kemampuan Tuhan, tetapi juga tentang memahami dan menghormati otoritas-Nya.
Seperti perwira Roma, kita dipanggil untuk datang kepada Tuhan dengan iman yang penuh kepercayaan, walaupun kita merasa tidak layak. Kerendahan hati dan keyakinan akan kuasa Tuhan merupakan inti dari iman yang sejati.
Dalam segala keadaan, kita dipanggil untuk percaya bahwa Tuhan memiliki kuasa yang melampaui segala sesuatu dan siap mendengarkan doa dan permohonan kita.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku memohon rahmat bagi sesama yang menderita?