Keuskupan Agung Palembang: Gereja Allah Mahamurah di Kawasan Rawa Pasang Surut, Satu Paroki untuk Tiga Kabupaten (3)

2
1,841 views
Ilustrasi: Rekoleksi para imam dan frater calon imam diosesan Keuskupan Agung Palembang di wilayah terpencil kawasan rawa-rawa di Paroki Pasangsurut, Kabupaten Banyuasin. (Ist)

PAROKI Allah Mahamurah Pasangsurut di Desa Purwodadi, Jalur 20, Kec. Muara Padang, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan,  merupakan salah satu paroki yang ada di lingkup pastoral Keuskupan Agung Palembang. Dari pusat Kota Palembang dan jika ditempuh melalui jalur darat, maka dibutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan. Jarak tempuh menjadi sekitar 1,5-2 jam jika ditempuh melalui jalur sungai dengan menggunakan speed boat.

“Paroki ini melayani umat yang tersebar di tiga kabupaten di Sumatera Selatan, yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Musi Banyuasin. Tercatat ada 20 stasi dan beberapa lokasi tempat misa yang tersebar di tiga kabupaten tersebut. Sebagian sudah memiliki kapel sederhana dan sebagian lagi belum.

Di tempat yang belum memiliki kapel, maka Perayaan Ekaristi  biasanya dirayakan di rumah-rumah umat secara bergantian. Sebagian besar umat katolik di sini  merupakan masyarakat transmigran dari Pulau Jawa.  Mereka datang di sini  mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan pada era pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1980-an.

Bapak Uskup Agung Keuskupan Palembang Mgr. Aloysius Sudarso SCJ (baris pertama, tengah) mengajak para imam praja dan para frater calon imam diosesan Keuskupan Agung Palembang untuk melakukan rekoleksi bersama di tempat terpencil jauh dari pusat kota Palembang di Paroki Pasangsurut – Kabupaten Banyuasin –sekitar tiga jam perjalanan darat dari Ibukota Provinsi Sumsel. (Ist)

Permukiman berawa-rawa

Karakter wilayah yang banyak didominasi area rawa menjadi tantangan tersendiri bagi para imam dan umat di paroki ini. Air sungai kadang pasang dan kadang surut mengikuti arus pasang surutnya laut di Selat Bangka, debu halus yang berterbangan di musim  kemarau serta lumpur hitam lengket dan licin ketika musim hujan tiba menjadi kisah manis tersendiri.

“Itulah makna panggilan sebagai perjalanan peziarahan,”  tutur Romo  Laurentius Setyo Antoro SCJ, Pastor Paroki Allah Mahamurah mengawali rekoleksi para imam dan frater diosesan Unio Keuskupan Agung Palembang yang juga dihadiri juga oleh Bapak Uskup Agung Keuskupan Palembang Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, pada Rabu (25/10).

Kawasan permukiman penduduk dengan tesktur berawa-rawa di Pasangsurut, Banyuasin, Sumsel. (Romo Titus Jatra Kelana Pr/ KaPal)

Rekoleksi bersama

Rekoleksi dengan tema “Segala Jalanku Kau Maklumi: Menulis Kembali Perjalanan Panggilan” ini dilaksanakan di Aula Paroki Allah Mahamurah.

Imam SCJ  yang berasal dari Pringsewu, Lampung ini pun menjelaskan hal ini. Sebagai imam dan calon imam, kata dia,  kita harus percaya sungguh pada Penyelenggaraan Ilahi yang terus terjadi dalam karya pelayanan kita di tengah umat. “Sebagai pribadi terpanggil dan sebagai pelayan umat, pengolahan hidup pribadi yang matang itu menjadi penting sehingga kita tidak perlu gelisah akan kebutuhan diri sendiri,” demikian tuturnya.

Lebih lanjut, imam yang baru sekitar lima  bulan melayani di paroki ini menambah komentar ini.

Baca juga:

“Semua manusia dianugerahi kemampuan untuk merasakan kehadiran Allah dalam segala macam peristiwa. Maka, sebagai orang terpanggil seharusnya bisa lebih merasakan kehadiran Allah dalam karya pelayanan di tengah umat dalam bingkai perjalanan panggilan. Hidup setiap manusia adalah sebuah perjalanan,” ungkap imam dari Kongreasi SCJ ini.

Bagi orang terpanggil, paparnya,  proses perjalanan panggilan itu tersusun dalam tiga fase. Diawali dengan fase pengenalan dan penyangkalan diri (via purgativa), pencerahan jiwa dan batin (via illuminativa) dan mengalami persatuan dengan Allah yang berbuah dalam tindakan belas kasih dan kemurahan hati (via unitiva).

“Melalui perjumpaan ini kiranya kita bisa bersama-sama menyadari perjalanan panggilan sembari memantabkan tekad, menyadari kembali orientasi hidup, langkah kaki dan hati sembari menyegarkan kembali harapan dan kesadaran bahwa para imam, calon imam dan seluruh umat merupakan teman seperjalanan menuju kepada kesatuan dengan Allah,” jelasnya.

Teladan St. Bunda Teresa dari Kolkata

Imam yang pernah melayani umat di Unit Pastoral St. Yohanes Maria Vianney Penarik Bengkulu ini pun mengajak untuk belajar dari pengalaman St. Bunda Teresa dari Kolkata.

“Bersama dan dengan perantaraan Kristus, kita akan mampu melaksanakan hal-hal yang besar. Untuk dapat melaksanakannya kita perlu berdoa, sebab buah doa adalah iman yang mendalam, buah iman adalah kasih dan buah kasih adalah pelayanan,” demikian kutip Rm. Antoro SCJ.

Usai penyampaian materi, rekoleksi dilanjutkan dengan pendalaman yang dikemas dalam bentuk sharing.

Salah satu sharing yang menarik disampaikan oleh Romo  Silvester Joko Susanto. Imam yang pernah mengenyam pendidikan pastoral di Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang ini mengemukakan bahwa pengalaman hadir di Pasangsurut mengajaknya untuk mengenang kembali pengalaman beberapa tahun lalu saat keluarga besarnya pada tahun 1982 berangkat dari Klaten, Jawa Tengah dan tinggal di daerah Desa Sugih Waras, Jalur 16 Pasangsurut.

Bapak Uskup Agung KaPal menyalami para murid di Pasangsurut –kawasan permukiman penduduk termasuk umat katolik di lahan berawa-rawa di Kabupaten Banyuasin arah perairan Selat Bangka. Kawasan terpencil ini ditempuh dengan perjalanan darat selama tiga jam atau 1.5-2 jam dengan speed boat menyusuri Sungai Musi.

Lokasi ideal untuk menggembleng mental baja

Bagi dia, Pasangsurut itu ibarat Kawah Candradimuka.

Imam yang kini berkarya Paroki St. Paulus Muara Bungo Jambi ini berkisah demikian. Pengalaman tinggal bersama masyarakat transmigran di Pasangsurut itu  tak ubahnya kisah Gatotkaca, salah satu ksatria Pandawa di dunia pewayangan Mahabarata yang sedang digembleng di Kawah Candradimuka.

Sebelum menjadi seorang ksatria yang sakti mandraguna,  Gatotkaca terlebih dahulu harus menjalani proses penempaan dan penggemblengan di Kawah Candradimuka. Aneka ujian, cobaan dan tantangan ia terima. Tujuannya adalah menjadikan dirinya sebagai ksatria yang kuat dan tahan banting. “Pada akhirnya,  karena ia setia dan tahan banting,  maka Gatotkaca si putera Bima ini menjadi superman dan superhero dengan julukan otot kawat balung wesi,” tuturnya.

Lebih lanjut, imam yang aktif digerakan Pramuka ini pun menegaskan hal ini.

Dalam perspektif sekarang, ujarnya,  istilah ‘Kawah Candradimuka’ ini merujuk pada diri seorang pemimpin. Seorang pemimpin  tidak cukup dilahirkan dari segala kenyamanan dan kemudahan,  tapi seorang pemimpin itu lahir dari sebuah proses panjang penggemblengan dan penempaan melalui jenjang pendidikan, pelatihan dan beragam ujian-ujian lainnya agar ia menjadi pemimpin sejati yang tangguh dan tahan uji. Pemimpin sejati selalu akan melewati perjuangan di Kawah Candradimuka, bukan hasil dari jalan pintas.

Pasangsurut lengkap dengan aneka kisah ‘sulitnya hidup’ karena tantangan  kondisi alam yang tidak mendukung kehidupan wajar. Aneka tantangan itu misalnya hal-hal berikut ini:

Para imam dan frater calon imam diosesan Keuskupan Agung Palembang diajak Mgr. Aloysius Sudarso SCJ mengunjungi kawasan terpencil di Paroki Pasangsurut, Kabupaten Banyuasin, Sumsel. (Romo Titus)
  • Sulitnya bisa mendapatkan pasokan air bersih, karena air tanah asam dan air sungai yang asin sehingga tidak bisa dikonsumsi.
  • Jalan berdebu di saat kemarau dan jalan berlumpur di saat musim hujan.
  • Tanaman tak tumbuh, karena tanah  cukup tinggi kandungan asamnya.
  • Umat dan masyarakat serinh mengalami gagal panen, karena lahan mereka terendam banjir luapan Sungai Musi.

Meski semua kondisi tersebut menjadi tantangan seriius, demikian keyakinan Romo  Silvester Joko Susanto, Paroki Pasangsurut tetap menjadi ‘Tanah Terjanji’.

“Pasangsurut menjadi tempat penempaan bagi setiap pribadi yang mau belajar menjadi pelayan yang tangguh dan setia dalam kebersamaan dengan umat,” jelasnya.

Baru sekali berkunjung

Hal yang senada disampaikan oleh Romo Dominggus Koro. Imam yang kini bertugas pastoral di Paroki Penyelenggaraan Ilahi Lubuk Linggau Sumatera Selatan ini mengaku bahwa ini merupakan pengalaman pertamanya menjejakkan kaki di Pasangsurut. Telah lama ia mendengar cerita orang tentang daerah ini, daerah yang di dominasi dengan lahan perairan dan rawa-rawa.

“Ini adalah pengalaman pertama saya berkunjung ke Pasangsurut, sebelumnya saya sudah berulang kali mendengar cerita tentang Pasangsurut. Setelah saya sendiri datang dan melihat situasi daerah ini dari dekat, ternyata situasinya jauh berbeda dengan apa yang pernah diceritakan sebelumnnya,” demikian ungkapannya.

“Saya merasakan ada harapan besar terpancar dari pribadi-pribadi yang saya jumpai di sini. Ada sebuah optimisme yang menegaskan bahwa semakin seseorang dihadapkan pada situasi yang sulit dari situasi tersebut kemudian akan melahirkan sebuah kreatifitas dan daya dorong untuk mengembangkan hal baik dan mematangkan setiap pribadi yang berdampak bagi banyak orang. Hal itu terbukti paling tidak dengan dihasilkannya banyak karya yang bisa merangkul dan berguna untuk banyak orang. Saya melihat wajah anak-anak pun tampak bahagia, gambaran mereka penuh pengharapan dan mimpi untuk semakin bisa memberikan yang terbaik kepada sesama,” tutur Rm Dominggus.

Bapak Uskup Agung KaPal Mgr. Aloysius Sudarso dengan umat katolik setempat. (Romo Titur Jatra Kelana Pr/KaPal)

Pastoral yang membumi

Bapak Uskup Agung Keuskupan Palembang Mgr. Aloysius Sudarso SCJ  memberi tanggapan demikian. Menurut beliau, tema rekoleksi yang sedang direnungkan bersama ini dapat membantu para imam dan calon imam untuk mengungkapkan dan merefleksikan pengalaman perjalanan panggilan dan pelayanan pastoralnya dan mampu berbagi kisah pengalaman dari paroki masing-masing sehingga dapat saling meneguhkan dalam panggilan.

Sulit dijangkau

Mgr. Sudarso SCJ pun menuturkan sebagai berikut.

“Daerah ini dulu cukup sulit dijangkau.  Sebagai imam muda saat itu, saya pernah berkunjung bersama seorang dokter. Saat itu,  saya berkarya di Seminari Menengah St. Paulus Palembang. Banyak transmigran tak punya pengalaman menanam  padi atau mengolah tanah di lahan rawa yang asam dan berair payau,” ungkap Monsinyur.

Namun, mereka harus berjuang keras agar tetap bisa bertahan dan bisa memenuhi kebutuhan hidup.

“Tempat ini pada masa itu termasuk daerah sangat terpencil yang belum bisa ditempuh melalui jalur darat.  Semua akses hanya bisa dicapai melalui  moda transportasi air. Kenyataan ini tentu menjadi pengalaman tersendiri bagi umat dan masyarakat. Bagi mereka yang bertahan dan terus berjuang tentu ini menjadi berkat yang senantiasa disyukuri,” tegas Bapa Uskup.

Usai rekoleksi, kegiatan pun dilanjutkan dengan kunjungan ke sejumlah tempa, seperti SMP St. Louis, Yayasan Sosial Pansos Bodronoyo Unit Purwodadi, Koperasi Karyawan Pansos “Setia Kawan” dan Klinik Charitas.

 

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here