BAGAIMANA dengan respon dari masyarakat?
Apatisme masyarakat
Nampaknya masyarakat semakin apatis menanggapi segala upaya dan usaha yang dibuat oleh pemerintah untuk memberantas korupsi. Di kalangan masyarakat bawah, tindakan pemerintah itu terkesan seperti suatu permainan bola yang sudah diatur, siapa yang akan menang atau dimenangkan, dengan demikian ada pihak yang dikalahkan.
Fakta menunjukkan bahwa yang tertangkap dan diadili adalah koruptor kelas teri, tetapi koruptor kelas kakap tetap dengan bebas dapat melanglang buana karena mendapat perlindungan dan privilese dari para penguasa negara ini. Itulah antitese tindakan pemberantasan korupsi yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Di satu pihak terkesan “galak” menangani kasus-kasus korupsi, tetapi di sisi lain kasus korupsi dibuatkan sistemnya sehingga setiap orang yang ikut “bermain” dalam tindakan itu akan tetap aman asalkan tidak keluar dari sistem itu.
Kiranya bukan hal baru, bagaimana korupsi itu telah dibuatkan sistemnya yang aman dan transparan.
Di daerah-daerah, kasus korupsi mewabah karena sudah ada sistem yang mengaturnya.
Contoh, seorang kontraktor yang ingin mendapat proyek dari pemerintah daerah/kota dengan nilai Rp 3 milliar harus terlebih dahulu membayar “upeti” kepada sang Bupati atau Walikota sebanyak Rp 300 juta; kepada Kepala Dinas 2,5% dari nilai proyek, kepada DPR sekian persen, kepada pihak pengawas dari kantor PU sekian persen; selanjutnya ketika proyek turun sang kontraktor masih harus membayar kepada sang Bupati/Walikota sebanyak 5% dari nilai proyek; jadi total biaya yang harus dia keluarkan adalah sebanyak Rp1, 5 miliar, artinya 50% dari nilai proyek.
Lalu bagaiman bisa membangun proyek yang berkualitas dengan anggaran yang tinggal 50%.?
Inilah salah satu contoh nyata bagaimana korupsi itu “dilegalkan” oleh pihak pemerintah dengan aturan main yang sangat transparan dan akuntabel. Siapa yang tidak mau “bermain” dengan sistem yang sudah ditetapkan itu tidak akan mendapat proyek dari pemerintah. Ini baru di tingkat kabupaten/kota, lalu bagaimana dengan tingkat Propinsi dan nasional? Tidak mengherankan para anggota Dewan yang terhormat berebut menjadi broker proyek karena tingginya “upeti” yang akan diterimanya dari setiap proyek yang berhasil diperjuangkannya.
Gereja dan “hidup bersih”
Sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia, Gereja tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebobrokan moral yang tengah melanda masyarakat dan bangsa Indonesia. Apa yang dialami oleh bangsa saat ini, dalam arti tertentu, juga berimbas kepada kehidupan meggereja umat secara keseluruhan. Karena itu, Gereja sebagai komunitas kaum beriman yang memiliki kompetensi khusus dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah moral bangsa harus bertindak untuk mencegah agar “wabah” korupsi semakin dapat dikurangi dan dibatasi.
Pada tataran personal, kita dapat memulainya dengan mengusahakan pola hidup “bersih” dengan membiasakan diri hidup secara sederhana, ugahari, mencukupkan diri pada apa yang ada, disiplin, transparan serta akuntabel. Pola hidup semacam itu dapat kita kembangkan dan usahakan bertolak dari diri sendiri; kita harus mulai membangun “habitus” baru dengan mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan dan kesahajaan seperti yang disebutkan di atas.
Bukankah tindakan korupsi seringkali muncul karena keinginan untuk menjalani kehidupan yang serba “wah” sementara tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkannya; akhirnya jalan pintas pun ditempuh: korupsi, merampas uang publik/masyarakat untuk kepentingan pribadi. Bukankah ditengarai bahwa mereka yang melakukan tindakan korupsi adalah oknum-oknum yang secara material miskin, tetapi ingin hidup mewah bak raja di raja, sehingga begitu ada kesempatan melakukan korupsi tanpa berpikir panjang lansung “menyambutnya” bagaikan “rahmat” yang datang dari Yang Kuasa?
Ketamakan, keserakahan serta mentalitas hidup nyaman, tetapi tidak mau bersusah payah adalah penyebab internal orang melakukan tindakan korupsi.
Pada tataran komunitas, baik komunitas biara atau paroki menjadi penting mengembangkan budaya kedisplinan, transparansi serta akuntabilitas. Disiplin menyangkut semua segi kehidupan, baik disiplin pada diri sendiri maupun dalam kaitan dengan anggota komunitas atau umat. Dengan pola hidup yang diwarnai oleh kedisiplinan, misalnya disiplin dalam hal penggunaan waktu, banyak waktu dapat dimanfaatkan untuk hal-hal positif daripada dibuang secara cuma-cuma karena “memaksa” orang harus menunggu kehadiran kita untuk suatu kegiatan atau pertemuan rutin.
Di Indonesia memang terkenal jam karet, artinya kebiasaan terlambat itu menjadi hal yang sudah biasa dan lumrah dilakukan banyak orang, apalagi di lingkungan para pejabat, sehingga berkembang adagium yang mengatakan:”kalau tidak terlambat datang, itu bukan pejabat”. Pejabat selalu diidentikan dengan keterlambatan, tidak disiplin waktu dan tidak menghargai waktu; pejabat yang seharusnya memberi contoh keteladanan dalam hal kedisiplinan justru sebaliknya memberikan contoh buruk. Dengan tidak menghargai waktu berarti kita tidak menghargai pihak lain.
Pola hidup disiplin itu juga dapat kita perluas dalam hal akuntabilitas dan transparansi keuangan di paroki maupun di komunitas. Transparansi dan akuntabilitas yang dimaksudkan disini terkait dengan laporan keuangan yang dibuat oleh paroki kepada pihak keuskupan dan kepada umat; atau dalam lingkup komunitas, laporan yang dibuat oleh ekonom kepada pimpinan komunitas. “Benih-benih” korupsi justru mulai ketika laporan keuangan yang dibuat tidak transparan dan akuntabel; artinya tidak jujur, ada sesuatu yang disembunyikan dan tidak ingin diketahui oleh publik.
Dengan membiasakan diri membuat laporan keuangan yang benar dan jujur tidak hanya menumbuhkan nilai-nilai kebajikan dalam diri seseorang, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan kepada yang bersangkutan dari pihak publik, dalam hal ini umat atau anggota komunitas. Seorang Pastor Paroki yang berani membuat laporan keuangan dengan jujur dan benar kepada umatnya, tidak saja dia menumbuhkan kebajikan kejujuran dalam dirinya serta mendapat kepercayaan dari umatnya, tetapi juga berimbas pada besarnya kerelaan umat untuk menyumbang bagi Gereja karena mereka tahu bahwa uang yang disumbangkan itu sampai ke paroki (terbukti dari laporan mingguan kepada umat melalui berita paroki) dan sungguh digunakan sesuai dengan intentio dantisnya. Itulah salah satu bentuk hidup “bersih” yang dapat kita usahakan.
Pembentukan tim fasilitator
Workshop Ethical Leadership Programe dinilai oleh para peserta sebagai hal yang sangat positif, tidak hanya membuka wawasan baru serta memberikan pencerahan, tetapi juga mendorong para peserta untuk melakukan gerakan atau tindakan kongkret dalam upaya untuk ikut ambil bagian menanggulangi korupsi. Tentu saja, untuk melaksanakan hal ini diperlukan banyak orang yang memiliki “jiwa/roh/semangat” yang sama agar gerakannya menjadi gerakan bersama sehingga memiliki daya gentar dan daya gedor yang tinggi.
Oleh karena itu, perlu ada rencana tindak lanjut dari seminar ini berupa workshop khusus untuk menjaring para calon fasilitator.
Dengan adanya team fasilitator di tingkat keuskupan, maka gerakan hidup bersih korupsi ini bisa digulirkan ke seantro wilayah Keuskupan dengan menggerakkan team fasilitator untuk terjun langsung ke paroki-paroki atau masyarakat di wilayah Kalimantan Tengah. Semakin banyak orang yang mendapatkan pencerahan dari gerakan ini tentu semakin banyak yang akan tertulari oleh “virus” hidup “bersih” yang adalah tujuan dari gerakan ini. Ibaratnya seperti bola salju, gerakan hidup “bersih” ini akan bergulir terus dan makin lama akan semakin besar, artinya akan semakin banyak orang yang hidup dan menghidupi roh hidup “bersih” di tengah-tengah masyarakat.
Melalui cara semacam ini, Gereja secara langsung ikut ambil bagian dalam gerakan penanggulangan korupsi. (Selesai)
Photo credit: Suasana worshop Gerakan Anti Korupsi di Keuskupan Palangkaraya (Yayasan Bhumiksara)
Artikel terkait: Keuskupan Palangkaraya Rintis Gerakan Semangat Bebas Korupsi (1)