“Semoga Bunda Yesus dan Bunda kita selalu tersenyum pada jiwamu, memperolehnya, dari Putera Tersucinya, setiap berkat surgawi.” – Padre Pio
“LEBIH baik suster memakai baju preman saja, ketika menyanyikan lagu profan tadi.”
Demikian evaluasi seorang imam -salah satu dosen senior- saat saya masih berstatus suster Yunior. Pernyataan itu sungguh tak terlupakan.
Saat itu, dengan tiba-tiba saya diminta untuk menyanyikan lagu profan oleh panitia konser kampus sebagai salah satu rangkaian mata kuliah dirigen.
Saya menyanyikan lagu profan berbahasa Ingris. Lagu itu satu-satunya lagu profan yang saya hafal dan bisa.
Hati saya sedikit bergolak. Antara rasa bersalah sekaligus bisikan membela diri: “Ah… generasi kita kan berbeda jauh,” demikian isi gejolak hatiku saat itu.
Saya ungkapkan pergulatan saya itu dengan romo pembimbing rohani. Tidak banyak kata yang disampaikan kepada saya. Pembimbing rohani saya hanya mengatakan, “Silahkan direfleksikan, apakah lagu itu mendukung panggilan suster sebagai religius?”
Entah mengapa, nasihat imam sederhana itu selalu mengusik hati terdalam saya. Bahkan hingga saat ini. Tanpa disadari, saya lalu teringat masa kecil dalam keluarga. Bayangan wajah ibu yang sederhana selalu menggorehkan kerinduan akan kenangan masa kecil bersamanya.
Kenangan indah bersama ibu
Sejak kecil, kurang lebih kelas 4 SD, ibu sering meminta saya menyanyikan mazmur bahasa Jawa. Dengan riang gembira, saya menyanyi, sementara itu ibu menyiapkan masakan untuk kami sambil mengangguk-angguk; atau mengoreksi ulangan anak-anak yang dibawa ibu dari sekolah SD Negeri di mana ibu mengajar sebagai guru.
Refren ulangan mazmur itu seperti ini, “Rahayu wong kang resik atine, jer bakal handarbeni Kratoning Swarga (Berbahagialah orang yang suci hatinya kar’na akan memiliki Kerajaan Surga.”
Dan penggalan ayat yang sangat disukai ibu kurang lebih seperti ini, “… ingkang mboten manut ing samogeling ilat, ingkang ing samukawis mboten damel pitunaning kadang… (yang tidak mengikuti gerakan lidah, dalam segala hal kata-katanya tidak mencelakai sesama.”
Saat-saat itu sungguh membahagiakan dan dipenuhi rasa damai. Bersama ibu, saya sangat ceria. Kebersamaan dengan ibu yang selalu mengajari kami untuk hidup sederhana. Juga berhati-hati dalam berbicara. Semua itu bagaikan mutiara indah dalam hidup saya.
Seiring perjalanan waktu, nyanyian mazmur saat bersama ibu itu menjadi sebuah doa indah. Pada akhirnya, saya menemukan rasa syukur atas teguran imam sederhana itu. Karena telah membawa saya bisa lebih menghayati panggilan saya sebagai religius Biarawati Abdi Kritus (AK).
Tidak hanya saat bernyanyi. Namun juga dalam sikap dan bertutur kata. Agar menjadi pancaran dari kasih Allah sendiri.
Salam bermakna “Berkah Dalem”
Saya semakin menyadari, apa yang diajarkan ibu sejak kecil itu ternyata saya temukan dan rasakan dalam menanggapi panggilan-Nya sebagai seorang suster biarawati Abdi Kristus (AK). Kelihatan sederhana, namun menarik hati saya.
Sejak awal saya mengucapkannya. Dan itu adalah ungkapan atau sapaan salam “Berkah Dalem”. Diucapkan dalam setiap perjumpaan dan saat akan memulai aktivitas bersama.
Dua kata yang sebelumnya tidak asing dalam kehidupan sehari-hari itu telah menggerakkan saya untuk mencari apa maknanya. Secara sederhana saya mendapat jawabannya seperti ini.
Ternyata kata bahasa Jawa “Berkah Dalem” yang terucap dari lubuk hati terdalam mampu menjadi sebuah doa dan daya yang menghidupkan jiwa. Baik pihak yangmengucapkan maupun yang menerima salam sapaan itu dan secara intens mendengarkannya.
Itu karena “Berkah Dalem” berarti berkat dari Tuhan. Berkat berasal dari bahasa Latin benedicere.
- Bene berarti baik.
- Dicere berarti berbicara.
Jika dibahasakan dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan “Berkah Dalem” itu bisa diartikan kurang lebih demikian: “Hai. Aku dan kamu dalam keadaan apa pun selalu dikasihi Tuhan. Karena dianugerahi berkat dari dan oleh-Nya.”
Baca juga:
- Jesuit Sandal Jepit: Ucapan Salam “Berkah Dalem”, Warisan Rohani Romo Soetapanitra SJ (1)
- Jesuit Sandal Jepit: Romo Soetapanitro SJ, Warisan Ucapan “Berkah Dalem” (2)
Hampir genap tujuh tahun ibu berpulang ke rumah Bapa dan tujuh tahun berlalu pula saya mengikrarkan kaul serah setia kekal sebagai suster Abdi Kristus (AK). Kadang saya teringat ibu yang selalu mengkawatirkan saya dengan selalu menanyakan, “Wiwin (nama panggilan kecilku), apakah kamu bahagia menjadi suster AK?”
Pertanyaan itu selalu saya jawab dengan senyuman dan permohonan doa restu ibu.
Pesan ibu agar saya hidup sederhana dan hati-hati dalam berbicara terpatri dalam hati saya dan membuat saya merasakan damai.
Saya sungguh percaya bersama Bunda Maria. Ibu mendoakan saya agar memiliki hati yang terus menerus dimurnikan (esthi murni).
Saya juga percaya ibu telah bahagia di surga. Bersama Bunda Maria dan seluruh penghuni surga ibu menyanyikan lagu-lagu pujian terindah.
Kehadiran ibu semakin menyatu dalam hidup saya saat saya merayakan Ekaristi Kudus.
Saya merasakan ibu sungguh hadir bersama para Kudus dalam perjamuan surgawi yang sudah saya cicipi di dunia ini. Dan itu membuat saya mengalami kebahagiaan bersama ibu.
Kebahagiaan ibu adalah kebahagiaan saya. Ibu, doakan kami yang masih berziarah di dunia ini.
Kidung jiwaku Nderek Dewi Maria ini ingin saya persembahkan untuk ibu yang telah berbahagia bersama Bunda Maria dan para Kudus di surga.