Mat 7:1-5
BAGAIMANA orang bisa tahu bahwa di matanya ada “balok”? Pertanyaan ini sangat penting mengingat kebanyakan mata kita lebih mudah melihat “balok di mata” orang lain.
Ada yang bilang mustahil orang mengeluarkan “balok” dari matanya sendiri di depan mata banyak orang. Enaknya, “balok” di mata sendiri ditutupi rapat, sehingga pandangan publik tidak sampai melihatnya.
Benarkah “balok” di mataku yang tidak terpotret oleh mata publik, sungguh-sungguh memberikan merasa enak?
Bukankah hal itu, beban yang menggelisahkan hatiku? Mana ada orang enak tidur nyenyak dengan beban balok yang berat. Orang mustahil bisa tidur dengan nyenyak bila “balok” terlampau berat menekan hidupnya?
Rasa tidak enak dan gelisah itu selalu membayangi selama jam tidurnya. Dengan demikian, orang juga tidak bisa bebas dari beban balok yang terperangkap dalam hidupnya.
Kembali ke pertanyaan awal tadi. Bagaimana orang bisa tahu bahwa di matanya ada “balok”?
Menurut hemat saya, satu-satunya cara supaya orang tahu bahwa di matanya ada “balok” adalah hanya kalau orang itu mau duduk diam merenung.
Orang mesti ikhlas memiliki waktu jeda dalam hidup. Orang butuh waktu untuk hening. Di sanalah orang bisa melihat pikirannya, hatinya, lidahnya dan seluruh tindakannya.
Tanpa itu, dia tidak akan pernah tahu identitas diri nya yang sejati.
Kesibukan kerja telah mencuri kesempatan kita untuk “melihat” diri di dalam keheningan. Keramaian dan kegembiraan yang disuplai oleh dunia manusia hanya memberikan sensasi psikologi yang bersifat sebentar.
Tatkala saya melewati hutan berhari-hari menuju tempat pelayanan, di sana saya menemukan keheningan.
Itu adalah momen di mana saya melangkah sambil “melihat” diri. Suara burung-burung di hutan seolah-olah seperti suara Allah sendiri yang sedang membangunkan saya dari mimpi-mimpi dunia.
Kalau sebelumnya waktu keheningan hanya dipandang sebagai waktu yang terbuang karena tidak menghasilkan sebuah karya konkrit, sekarang saya baru tahu bahwa karya yang konkrit mesti dimulai dari waktu diam merenung dalam keheningan.
Seorang rahib di padang gurun memberikan petuah begini, “Orang yang mempunyai keheningan di batin tidak pernah tergoda untuk menghakimi kekurangan orang lain. Kelemahan orang lain tidak pernah dia lihat sebagai ganjalan. Katanya, tugasku adalah berdoa untuk dia sedang tugas untuk mengubah kelemahannya menjadi baik adalah tugas Allah. Jadi, kita hidup berbagi tugas. Kita mesti bisa memilah dan membedakan tugasnya kita dan tugasnya Allah”.
Melalui petuah Rahib ini, kita juga bisa berkata, “Tugas kita adalah menyepi sebentar dari keramaian dunia pergi ke kesunyian supaya bisa mengalami keheningan. Di alam sanalah kita akan memulai menghakimi dan mengadili diri sendiri”.
Dunia yang serba sibuk dan ramai seringkali memberikan tekanan di batin.
Pemazmur berkata, “Hatiku gelisah, kengerian “balok” telah menimpa aku. Aku dirundung takut dan gentar, perasaan seram meliputi aku.
Pikirku: “Sekiranya aku diberi sayap seperti merpati, aku akan terbang dan mencari tempat keheningan, bahkan aku akan lari jauh-jauh dan bermalam di padang gurun. Aku akan segera mencari tempat perlindungan terhadap angin ribut dan badai dunia.” (Bdk.Mzm 55:5-9).
Renungan: “Orang yang sering menghakimi orang adalah pasien yang kehilangan keheningan”
Tuhan memberkati.