Yoh 14: 27-31a
DULU ketika kami masih kanak-kanak, takut sekali kalau ditinggal pergi sama orangtua. Saat itu, ekspresi kegelisahan dan ketakutan yang paling umum muncul adalah ngambek dan menangis. Terkadang kalau sekarang ingat momen tersebut, baru kami sadar bahwa ternyata kehidupan manusia mempunyai ikatan yang sangat kuat sekali dengan orangtua kandung.
Terlepas dan ditinggalkan pergi oleh orang tua kandung, serasa kehilangan tempat bernaung atau kehilangan kehidupan.
Seiring bertambahnya usia dan kesadaran, baru saya bisa memahami ternyata pengalaman ketakutan dan kegelisahan adalah pengalaman wajar dan manusiawi.
Seorang gadis cantik bila meninggalkan pujaan hatinya, pastilah pasangannya sedih dan menangis. Demikian pula seoarang pria cakep bila meninggalkan pujaan hatinya, pastilah pasangannya mengalami hal yang sama.
Senada pula dengan pasangan yang sekian lama hidup bersama sebagai suami istri, namun terpisah karena cerai atau pisah ranjang, pasti ekspresinya lebih pelik dan sedih lagi.
Terkadang di depan publik ekspresi mereka tampil dan nampak seperti orang kuat dan happy, tetapi padahal sebetulnya di bagian dalam isi hati hancur lebur dan merana.
Tidak heran, bila saat sendirian mereka meratapi hidupnya dengan sedih dan menangis, hingga hidup merasa tidak bahagia. Seolah bahagia hanya sebuah fatamorgana.
Ditelisik dari sisi manusiawi, rupanya Yesus juga pernah mengalami ketakutan dan kegelisahan seperti kita. Pada saat sebelum mangalami maut, Dia berdoa di Taman Getsemani.
Di sana Dia sedih dan gentar. Kata-Nya, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku” (Mat 26:38).
Sisi ketakutan manusiawi Yesus juga berlanjut dan nampak sekali pada saat Ia berada di salib di Golgota. Dari atas salib dengan suara nyaring Dia berseru, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” yang berarti: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk 15:34).
Menariknya, dalam bacaan Injil harian hari ini, Yesus yang pernah mengalami hal-hal yang seperti kita alami malah meminta murid-murid-Nya, supaya tidak boleh merasa gentar dan sedih. Apakah Dia halusinasi?
Demikian pertanyaan anak gaul hari ini. Dia tidak halusinasi. Dia mengatakan hal itu, ketika Dia sudah “menjadi” Tuhan.
Bila sebelumnya Dia sungguh-sungguh menjadi manusia, maka sekarang Dia sungguh-sungguh menjadi Tuhan. Jadi, perlu dipahami bahwa kata-kata yang Dia ucap dalam Injil hari ini, bukan kata-kata dari manusia Yesus. Akan tetapi, kata-kata itu dari Tuhan Yesus.
Kata-kata Tuhan Yesus, “Janganlah gelisah dan gentar hatimu” adalah peneguhan iman. Ketika kehidupan duniawi tidak hadir sebagai kawan sejawat dan lebih hadir sebagai tekanan hidup, maka kata-kata Tuhan Yesuslah yang menjadi peneguhan dan pegangan hidup. Hanya kepada Tuhanlah, hati kita menjadi tenang.
Kata-kata seperti, “Damai sejahtera Ku-tinggalkan bagimu” adalah kata-kata Tuhan yang memberikan ketenangan bagi tubuh dan jiwa kita. Semua yang manusiawi bersifat fana dan akan berlalu. Tuhan Yesus berkata, ‘Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Luk 21:33).
Jadi, kita tidak boleh lagi hidup dengan “hal-hal yang berlalu-lalu” nanti malah ketimpa malu. Yang fana akan berlalu dan Yang Abadi akan datang. Aku pergi untuk kembali
Renungan: Orang yang memandang aku, tidak akan melihat aku lagi, sementara Engkau memandang aku, aku tidak ada lagi (Ayb 7:8).
Tuhan memberkati.