Kel 32:7-14
DULU ketika kami masih bocah atau anak-anak, sangat akrab sekali dengan stigma “ngeyel”.
Umumnya, para orangtua tidak suka dan tidak sabar bila melihat anak-anaknya “ngeyel”.
Tak jarang zaman itu, seringkali rotan menjadi pilihan terakhir bagi orang tua dalam mengajar dan menghajar anak-anaknya. A
pakah mereka terinspirasi dari kata-kata orang bijak yang bilang begini, “di ujung rotan ada emas”, atau mungkin terinspirasi dari Kitab Suci, “bila anak-anakmu, tidak mau mendengarkan engkau atau “ngeyel,”hajar dia tujuh kali.”(Im 26:18).
Sering kali mereka bilang, “kami mengajar dan menghajar anak-anak yang suka “ngeyel” dengan menggunakan rotan atau tongkat, itu semata-mata sebagai bentuk kasih sayang atau cinta kami kepada mereka supaya mereka berubah menjadi anak-anak yang baik”.
Argumentasi mereka ini, senada dengan nasehat orang bijak yang berkata, “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya” (Ams 13:24).
Katanya, di zaman Israel kuno, anak-anak yang tingkat “ngeyelnya” sudah over dosis, dibawa ke tempat umum untuk dihukum dilempari batu sampai mati.
Mengapa? Karena mereka menganggap “kengeyelan” yang sudah terlampau over dosis itu, dipandang sebagai wabah yang memperburuk kehidupan masyarakat (Ul 21:18-21).
Dalam bacaan harian pertama hari ini, melukiskan orang Israel sebagai umat pilihan Allah yang hidup sebagai anak-anak yang susah diatur (ngeyel).
Mereka menyimpang dari perintah Allah. Dengan kata lain, mereka tidak mau mendengarkan Allah. Hidup sesukanya sendiri. Mungkin bila diistilahkan anak muda di zaman now, loe-loe, gue-gue, emang gue pikirin. Bodo amat!.
Bagi Allah, bila kamu tidak mau dinasehati atau dikasih tau atau ditegur, ya…. sudah, dibinasakan saja. Gitu aja kog repot!
Rupanya, Allah juga bisa galak dan kehilangan kesabaran bila melihat anak-anak-Nya terlampu “ngeyel”. Dalam hal yang satu ini, orang tua kita, tidak ada bedanya.
Adalah Musa peka menangkap kegeraman Allah ini. Dalam benaknya berkata, wah ini gawat! Musa tampil untuk menghadap Allah.
Dengan sabar Musa, merayu, membelai dan mengelus-elus Allah melalui nada suara lembut mengatakan: Sabarlah Babe…jangan binasakan mereka.
Anak-anak memang sukanya begitu, ngeyel dan nakal. Ampunilah mereka Be, sebab mereka tidak tahu, apa yang mereka perbuat. Maklumlah, namanya juga anak-anak.
Babe, ingat dong janji-Mu kepada leluhur kami, Abraham, Ishak dan Yakub.
Saat itu, Babe bilang,
“dari keturunanmu nanti akan mendapatkan banyak berkat di muka bumi.”
Bukan kutukan kan?.Itu lho, perjanjian kekal! Masa Babe mau langgar.
Apa kata dunia nanti? Kok nggak konsisten, suka berubah-ubah dan plin-plan. Sorry ya Be, sebetulnya, aku tidak pantas menasehati-Mu.
Ia ya….. Terimakasih ya, Musa…. sudah mengingatkan-Ku.
Di tengah wabah covid 19 ini, kita teringat sebuah kutukan Babe,
“TUHAN akan melekatkan penyakit sampar kepadamu, sampai dihabiskannya engkau dari tanah, ke mana engkau pergi untuk mendudukinya. TUHAN akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang, kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa” (Ul 28:21-22).
Apakah covid 19 yang melanda dunia saat ini, menjadi perwujudan dari kutukan itu?
Mungkin kita, sudah terlampau “ngeyel” kepada perintah”-Nya, sehingga balasan yang kita terima ya, seperti ini.
Saat ini, pendekatan”ilmu perayu” Musa perlu ditiru dan dihidupkan kembali melalui iman yang tulus sambil memohon ampun.
Renungan: Bisakah kita seperti Musa saat ini?
Tuhan memberkati.
Apau Kayan, 26.3.2020