
Why 5:1-10
DULU ketika menjelang tahbisan imam di Katedral Tanjung Selor, seorang imam senior berkata begini kepada saya:
“Sebentar lagi, kamu akan disembelih di depan katedral ini. Darahmu akan mengalir demi menyirami iman-iman umat yang layu dan gersang. Dan kamu akan mati demi mereka semua”.
Saat itu, saya cuma diam sambil bertanya dalam hati. Mengapa imam senior ini, mengatakan hal seperti itu kepadaku?
Bukankah saat menjelang tahbisan imam adalah saat-saat bergembira bersama keluarga dan umat? Bukankah justru saat di depan altar inilah yang menjadi pusat kegembiraanku?
Mengingat, setelah bertahun-tahun saya memperjuangkannya. Demi berada di depan altar ini, saya telah berjuang mati-matian mengalahkan salah satu ego dalam diriku. M
estikah egoku berakhir disembelih di depan altar ini?
Sepertinya, dari pernyataan imam senior itu, dia ingin menjelaskan kepadaku bahwa saya perlu menghilangkan gambaran menjadi imam yang serba wah dan enak.
Umat kelihatan happy melihat kamu saat “disembelih” di depan altar. Dan hal itu wajar, karena mereka merasa ada korban yang mau mengorbankan hidupnya demi membantu pertumbuhan iman mereka.
Namun, ingat! Saat-saat kamu mulai mengucurkan banyak darah dan keringat demi Gereja, tidak semua dari mereka akan mempedulikan hidupmu.
Kamu siap “gegana” (gelisah galau merana).
Kata-kata imam senior tadi, baru terasa setelah saya menjadi imam yang ditempatkan di pedalaman. Hidup berjuang melewati medan pastoral yang sulit, menghadapi SDM yang minim, dukungan dari sesama teman imam yang miskin dan masih banyak kesulitan lain yang kalau dirinci satu-persatu, malah pusing dan takut dibilang ah kamu itu suka mengeluh.
Betul sekali yang dikatakan oleh Ali Bin Abi Talib, “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia”.
Manusia itu tidak bisa diharapkan. Bukan munafik, tetapi terkadang tinggal menjauh itu lebih baik daripada dekat cuma bikin sakit hati”.
Dari pengalaman sesudah menjadi imam dan telah berkarya di pedalaman ini, saya baru mengerti apa arti “Anak domba yang disembelih di depan di altar tadi”.
Artinya, ya seperti Imam Agung kita Tuhan Yesus yang seluruh hidup-Nya dikurbankan untuk keselamatan banyak orang.
Hal yang sama juga dengan panggilan menjadi bapa dan ibu dalam hidup keluarga.
Mereka mesti “menjadi domba yang disembelih” setiap hari di depan anak-anak mereka untuk mensuport kehidupan anak anaknya.
Singkatnya, kalau kita tidak mau “dijadikan domba untuk disembelih setiap hari”, maka kehidupan itu sendiri akan berjalan di tempat.
Kemajuan mandeg dan kematian yang sia-sia akan menjemput. Masuk surga cuma mengandalkan hidup doa, itu cuma mimpi kosong. Atau berdoa tanpa makan, itu mustahil.
Yang benar adalah berdoa dan berkerja harus satu paket. Dan surga itu, cuma ditempuh dengan sikap pengorbanan seperti, “anak domba yang disembelih di altar kehidupan manusia”.
Renungan: “Hidup tanpa “disembelih” itu bukan kehidupan”.
Tuhan memberkati.