Apau kayan, 7-9-2022
Luk 6:20-26
BETAPA serem bila kita mengambarkan situasi saat ini. Kita semua benar-benar dicampuk. Covid belum reda, BBM melambung naik dan ancaman resesi ekonomi sudah di depan mata.
Sepertinya, persoalan hidup manusia tidak pernah luput dari masalah. Menjadi orang hidup saat ini, benar-benar ribet. Betul yang katakan orang bijak, “Cuma orang mati saja yang bahagia, karena mereka bebas dari masalah”.
Potret di pedalaman Paroki Apau Kayan di Keuskupan Tanjung Selor di Provinsi Kaltar -tempat saya berkarya saat ini- bukan cuma soal BBM yang melambung naik. Tetapi, kelangkaan BBM.
Masyarakat menjadi tambah pening. Akibatnya, gaya lama pun terpaksa mereka ambil yaitu, kembali ke jalan kaki, bila ingin pergi ke ladang.
Belum lagi persoalan infrastruktur jalan yang sangat memperhatinkan.
Bayangkan saat ini, perjalanan mobil taksi yang membawa sembako dari hulu Mahakam ke Apau Kayan memakan waktu berminggu-minggu di jalan. Transportasi udara pun sangat terbatas.
Kadang, umat yang pergi berobat ke kota mengalami kesulitan untuk pulang karena penerbangan untuk kembali sangat langka.
Kelamaan di kota pasti lambat laun mereka akan kehabisan bekal.
Di luar sana pun tidak bisa dielak, bila umat juga punya persoalannya masing-masing. Entah itu soal kemiskinan, kelaparan, sakit, PHK, pendapatan ekonomi yang tidak menentu, umat yang mengalami kurban ketidakadilan, dll.
Melihat itu semua, bisakah kita melihat kebahagiaan di wajah mereka? Bukankah sebaliknya justru kita melihat wajah orang derita itu malah memancarkan kesedihan.
Bahkan terkadang, kita menemukan mereka yang tak berdaya malah hidup dengan nada keluhan dan rintihan.
Singkatnya, orang susah tidak bisa menyembunyikan wajah deritanya, lalu dia tutupi dengan senyum dan tertawa seakan-akan dia mengalami kebahagian.
Menurutku, “Orang susah yang berpura-pura bahagia adalah orang gila”.
Terkadang kita sering kali tergoda mengambil jalan pintas untuk memberikan solusi kepada mereka yang tak berdaya. Misalnya, dengan memberikan bekal pengiburan rohani dan kita merasa itu sudah lebih dari cukup.
Sering kali rintihan dari mereka yang tak berdaya bilang, “Semua orang bisa bilang ‘sabar’ tetapi, tidak bisa merasakan betapa pahit dan sakitnya hidup dalam kesabaran. Luka dalam derita itu tak bersuara karena air mata jatuh tanpa suara”.
Sekali lagi, itulah potret dari sisi terlemah dari insan-insan yang terlilit derita yaitu, menyedihkan sekaligus memperihatinkan.
Namun oleh Tuhan Yesus melalui petuah Injil hari ini meyakinkan bahwa orang derita tidak boleh lupa bila hidup mereka tidak hanya berhenti di sini. Hidup mereka masih berlanjut “di dunia sana”.
“Disanalah” kelak kebahagian itu mereka raih. Semua bentuk penderitaan yang mereka alami di dunia sini akan terbayar kelak bila mereka sudah menyeberang “ke dunia sana”.
Asal saja mereka yang menderita ini perlu menghayati penderitaannya tanpa mengabaikan Tuhan. Orang derita tetap menyatu dengan Tuhan.
HR Trimidzi bilang, “Dan ketahuilah, sesungguhnya kebahagian itu beiringan dengan kesabaran. Jalan keluar beiringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan pasti akan datang kemudahan”.
Refleksi: “Pahit dan sakitlah dahulu baru manis dan sukacita akan menyusul.”