Kis 16:22-34
GURU Kitab Suci kami di Seminari dulu pernah berpetuah begini, “Seorang misionaris Kristus adalah seorang pendoa. Misionaris tidak bisa bermisi, kalau kehidupan doanya tidak mumpuni.”
Dulu petuah guru seperti ini, hanya saya tangkap sebatas bahasa nasihat seorang guru. Sebab petuah yang begini di rumah juga dilakukan oleh orangtua kepada anak-anaknya.
Jadi, kesannya bisa saja begitu. Namanya juga guru dan orangtua ya… salah satu keahliannya memang memberi petuah atau nasihat.
Namun, setelah saya mengalami proses bertumbuhnya iman yang kanak-kanak menuju ke iman orang dewasa, barulah saya sadar. Apalagi setelah menjadi misionaris Kristus yang melayani umat di pedalaman dengan medan karya yang sarat dengan tantangan.
Petuah bernas tadi sungguh menempa imanku. Sekarang, kesadaran itu tumbuh yaitu, hidup doa bergandengan dengan bermisi.
Bermisi melewati medan yang berat dan hidup di tengah umat Allah yang SDM-nya masih minim, kadang melelahkan fisik dan pikiran.
Godaan-godaan untuk putus asa dan mengeluh tidak bisa dihindarkan. Hidup misionaris kog kayak gini ya?
Adalah Paulus dan Silas, malah menampilkan sisi menantang sekaligus menakutkan ketika mereka berdua bermisi di kota Filipi.
Mereka di anggap preman jalanan yang membuat onar dan bising di kota Filipi. Sudah dianggap preman, diperlakukan dengan tidak manusiawi, malah di masukkan ke penjara lagi. Lengkap sudah penderitaannya.
Malu rasanya, bila kita mengeluh dan putus asa dengan pengalaman misionaris kita yang belum seberapa jika dibandingkan dengan pengalaman misionaris mereka berdua.
Roh misionaris mereka kadang menjadi sesuatu yang langka untuk hidup kita di zaman ini.
Di zaman ini, kadang kita tidak punya nyali dengan keputusan yang mengandung tantangan dan risiko kehilangan nyawa. Menyayangi kehidupan memang sangat manusiawi. Tapi bagaimana kalau sudah mengarah pada “memanjakan jiwa?”
Di zaman kita, masih banyak misionaris yang jiwa seorang misionarisnya masih dielus-elus, disayang sayang. Akibat nyawa dielus-elus dan makan enak, banyak dari kita yang gemuk, gembrot dan berpenyakitan.
Terkadang petuah Tuhan Yesus yang berkata begini, “Siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.” (Mrk 8:35), masih kita dianggap biasalah nama juga Tuhan, suka menasihati orang.
Kadang pengalaman iman kita dewasa ini dibenturkan dulu dengan “tembok” baru setelahnya muncul kesadaran.
Apakah memang jalan menuju kesadaran iman yang dewasa itu, mesti melewati proses dibentur dengan “tembok” lebih dulu? Sangat mungkin.
Sebab, kepala penjara yang memenjarakan Paulus dan Silas di Filipi mengalami pengalaman di bentur dengan gempa bumi.
Doa dan Pujian Paulus dan Silas kepada Tuhan mendatangkan gempa bumi yang tidak hanya menggoyangkan penjara, tetapi ikut menggoyangkan imannya.
Dampaknya, seiisi rumah kepala penjara berbalik menjadi pengikut Kristus. Paulus sendiri sebelum menjadi pengikut Kristus juga begitu. Matanya di butakan dulu baru setelahnya sadar.
Lagi-lagi doa adalah kekuatan di balik semuanya itu.
Bila diseret pada kehidupan iman kita saat ini. Apakah covid-19 yang sedang mewabah dan melanda dunia saat ini, dapat juga kita katakan sebagai sarana yang dipakai oleh Allah untuk menggempakan Iman kita yang sedang terlanjur “tidur”?
Sangat mungkin. Lagi-lagi, hanya doa yang bisa menolong kita untuk “melihat” hal itu.
Renungan: Apakah Hidup doaku, bisa menggempakan imanku dan iman-iman orang di sekelilingku?
Tuhan memberkati.