Mrk 12: 28b-34
“Sabda telah menjadi manusia (daging) atau firman Allah telah menjadi manusia (daging)” Demikanlah sepenggal yang dikatakan oleh Injil (Yoh 1:14) dan yang didaraskan dalam doa Angelus.
Apa tujuan dari ingkardinasi Allah, sehingga Dia rela turun tahta dari Surga menuju kedunia manusia yang lemah dan rapuh?
Jawaban iman Gereja adalah karena Allah mau menyelamatkan manusia melalui Cinta-Nya. Dengan kata lain, Allah tidak tega ketika Dia melihat manusia di dunia ini memikul penderitaan hidup sendirian.
Dia datang mau berbela rasa dan bersolidaritas dengan manusia yang lemah dan rapuh.
Gambaran Allah Manusia yang bersolider dan berbelarasa ini, turut menggerakkan kesadaran manusia untuk berbalas cinta dan berbagi solidaritas melalui komitmen untuk mengabdi kepada Allah lewat iman.
Dan iman berupa cinta kepada Allah ini, mendapat bentuk konkritnya ketika manusia bisa saling mencintai satu dengan yang lain.
Selain itu, Allah yang digambarkan manusia sebagai pencetus cinta ini, ikut membentuk kesadaran manusia untuk memuja Allah sebagai pihak yang sangat ideal.
Setidaknya di situ, ada “psikologi romantisme” manusia terhadap Allah. Jargon seperti, “I love You God, I love You Jesus and God bless You” merupakan perwujudan dari “psikologi romantisme” manusia dalam mencintai Allah.
Semua ilustrasi tentang cinta manusia kepada Allah, indah dan memesona.
Namun, di tengah fenomena pandemi dan epidemi virus corona di dunia saat ini, mungkinkah “psikologi romantisme” manusia terhadap Allah masih tetap bertahan? Mungkinkah cinta kepada Allah itu, bisa bertumbuh dalam situasi ketakutan dan kecemasan terhadap pandemi dan epidemi virus corona yang kian detik mengintai dan membunuh manusia secara perlahan-lahan?
Dia yang sudah sekian lama kita anggap sebagai Maha-penolong dan Maha-cinta, terkadang membuat kita bingung dan tidak habis pikir. Terlebih ketika di kiri-kanan kita ada tetangga yang terpapar dan yang terkapar mati akibat terjangkit virus.
Seandainya di awal, cinta Allah digambarkan sebagai coronavirus atau senjata pemusnah massal, mungkin kita tidak akan menjadi manusia manja yang tidak punya persiapan alam menghadapi sebuah teror.
Sebaliknya malah sering kali suka membuat tindakan preventif secara dadakan dan tiba-tiba.
Seluruh gambaran kita tentang cinta Allah yang serba baik ini, merupakan sumbangan refleksi iman yang memiliki titik lemah. Apa kelemahannya?
Kelemahannya, kita menjadi manusia yang kurang kreatif. Hal ini, tampak dalam upaya kita dalam menanggulangi virus ini, semua dibuat serba serentak, mendadak dan tiba-tiba.
Andaikata, pada awal dulu kita menggambarkan cinta Allah itu, tidak serba romantis, mungkin banyak kreativitas manusia dalam upaya membentengi diri dari pengintaian banyak virus.
Romantisme dalam beriman kepada Allah itu baik, tetapi bila diterapkan secara berlebihan bisa menina bobokan jiwa kreativitas dan solidaritas manusia kepada sesama menjadi mati ditelan coronavirus.
Lantas, iman macam apa yang mau dihidupkan saat pandemi dan epidemi virus corona yang sudah mendunia ini? Mungkin di masa wabah ini, iman “Getsemani dan Kalvari” model Tuhan Yesus perlu ditumbuhkan dengan sungguh-sungguh.
Iman ini adalah upaya kita untuk melihat cinta Allah secara non-romantisme. Allah yang menyepi yang meninggalkan sejenak dari hidup manusia. Allah yang membiarkan manusia belajar hidup berjuang sendirian.
Setidaknya, kita perlu merasakan, “seperti apa rasanya hidup tidak di cintai oleh Allah”?
Renungan: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?
Apau Kayan,20.3.2020