Kiong Koe Berkicau – Menyalakan Harapan

0
220 views
Semangat dan harapan (Romo A. Suhud SX)

Yoh 5:1-16

SAYA pernah melihat seorang pasien yang mengalami sakit jiwa. Ia dipasung oleh keluarganya di sebuah kamar khusus. Alasan mereka memasungnya, karena takut dia berontak dan melukai orang-orang di sekitar mereka. Di kamar itu, ia diam tak berdaya.

Kemudian saya bertanya kepada keluarganya, sejak kapan dia mengalami penyakit seperti ini?

Keluarganya menjawab sejak dari kecil dia sudah mengalami kelainan. Semakin usianya bertambah, dia semakin agresif dan berontak. Melihat gejala dan gelagatnya yang tidak biasa seperti itu, dengan berat hati kami memisahkan dia dan memasungnya di sebuah kamar.

Lagi-lagi alasannya demi menjaga keamanan. Rupanya, penderitaan satu orang anak itu berarti penderitaan seluruh keluarga.

Dari pengalaman perjumpaan itu, saya sependapat dengan pendapat umum yang mengatakan, “Harapan terbesar orang sakit atau menderita adalah keinginan untuk segera sembuh”.

Tidak ada orang di antara kita bila mengalami kesakitan berharap sakit sepanjang masa. Kira-kira seperti inilah nada harapan orang yang masih hidup di zaman ini. Sehat dan waras.

Dalam kisah Injil hari ini, Tuhan Yesus menyembuhkan orang sakit yang sudah menderita 38 tahun. Lama sekali. Nggak kebayang bila hal itu terjadi pada diri kita, kira-kira reaksinya seperti apa ya?

Barangkali sudah ada yang murtad dari iman. Atau mungkin sudah ada yang kehilangan harapan untuk hidup.

Biasanya, dalam pengalaman hidup kebanyakan orang bila mengalami penderitaan yang terlampau lama, rata-rata akan merespons begini, “Ya, sudah pasrah saja. Kami sudah ikhlas. Terserah Tuhan mau ngambilnya kapan.”

Ketika saya membaca psikologi harapan orang yang menderita 38 tahun di dalam kisah Injil hari ini, saya menemukan dan ingin membagikan refleksi saya seperti ini:

“Si penderita mengalami sakit tubuh berkepanjangan. Namun, ada satu hal yang tidak dia ikut sertakan dalam penderitaanya.

Apa itu?

Dia tidak membawa harapannya untuk sembuh atau untuk hidup ikut menderita bersama dengan penderitaan fisiknya. Dia membiarkan harapannya tetap hidup dan menyala. Dia tidak membiarkan harapannya mati meskipun tubuhnya tak berdaya”.

Melalui harapan yang dia hidupi ini, menjadi tangga dan penuntun yang kelak bagi dia bisa bertemu dengan Tuhan Yesus sang penyembuh.

Keteladanan semacam ini, telah ditunjukan pula oleh Tuhan Yesus kepada kita. Meskipun Yesus harus mati melalui penderitaan yang berujung di kayu salib, tetapi di luar penderitaan-Nya, Dia meninggalkan sebuah harapan besar untuk kita.

Maka kita orang yang percaya harus tetap kuat memelihara harapan yang diberikan Yesus untuk tetap hidup menyala. (bdk. Luk 22:42).

Harapan inilah kekuatan dalam menghadapi aneka hidup yang kita geluti.

Dengan bijak sekali Surat kepada orang Ibrani berkata, “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir.” (Ibr 6:19).

Di Masa Prapaskah ini, meskipun kita berdoa, berpuasa, bermatiraga dan beramal bahkan hidup bersamaan dengan pandemi.

Harapan tidak boleh diseret turut menderita bersama kita. Biarkanlah harapan itu, terus bernyala dan hidup.

Allahlah sumber pengharapan kita. Demikianlah credo St. Paulus dalam menghidupi iman dan hidupnya.

Refleksi: Hidup di tengah pandami dan dunia penyakit yang kita hadapi saat ini, apakah harapan itu masih bernyala?

Apau Kayan, 29-3-2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here