2 Tim 3:10-17
ABRAHAM bapa orang beriman yang terkenal taat itu, malah sering mengalami banyak penderitaan. Dia sudah meninggalkan kampung halamannya dan menjadi imigran Tuhan, tetapi toh dalam perjalanan hidupnya diwarnai dengan banyak kesukaran. Adilkah itu?
Isterinya Sara yang setia menemani dia sepanjang perziarahannya, malah lambat laut kehilangan kesabaran. Dalam situasi tertekan dan putus asa, dia menyimpulkan bahwa Allah suaminya tidak lebih daripada politisi yang suka memberi harapan palsu. Allah suaminya, suka memberi janji-janji manis bak politisi di musim “pilkada, pilpres, dll”.
Di hadapan suaminya, dia berkata, “Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak.”
Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai” (Kej 16:2). Bahkan Allah yang dianggap gemar menabur janji kepada suaminya malah dia tertawain (bdk. Kej 18:12).
Nabi Yeremia pernah mengadu perkaranya kepada Allah perihal penderitaan yang dia alami. Dia merasa Allah tidak memperlakukan dia dengan adil.
Dia berkata, “Sungguh, ya TUHAN, aku telah melayani Engkau dengan sebaik-baiknya, dan telah membela musuh di depan-Mu pada masa kecelakaannya dan kesesakannya. Tidak pernah aku duduk beria-ria dalam pertemuan orang-orang yang bersenda gurau; karena tekanan tangan-Mu aku duduk sendirian, sebab Engkau telah memenuhi aku dengan geram. Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai.” (Yer 15:11,17-18).
Ayub adalah orang saleh di hadapan Allah. Tetapi, mengapa kesalehannya malah dibalas dengan musibah? Adilkah itu? (Ayub 1:1). Tidak salah dan jangan heran bila istrinya mengejek kesalehan Ayub.
Mengapa? Karena dia berpikir mustahil orang saleh yang takut akan Allah ditimpa kesusahan. Namun, faktanya kesalehan suaminya malah berbuah penderitaan. Dari pengalaman hidup suaminya, dia berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya orang hidup saleh.
Di hadapan Ayub, isterinya berkata, “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (Ayb 2:9).
Tuhan Yesus putra-Nya Allah malah lebih tidak masuk akal lagi. Masa Dia bisa menderita? Bukankah Dia itu Allah? Mungkinkah Dia yang kita sebut sebagai Anak Allah bisa disentuh oleh penderitaan? Ketika menghadapi maut, dengan nada sedih Dia berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Ku-kehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”(Mat 26:39).
Nyatanya, Dia tetap melewati cawan penderitaan. Adil dan masuk akalkah?
Rasul Paulus dalam isi suratnya kepada Timotius mendeklarasikan kesalehan murid-murid Tuhan akan hidup berdampingan dengan pelbagai bentuk penderitaan. Dia yang melulu hidup demi Tuhan malah seringkali dianiaya.
Di situ, dia berujar begini, “Memang setiap orang yang mau hidup saleh di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya”. Lagi-lagi, adilkah? Memang kalau dilihat dari kalkulasi kaca mata orang dunia sudah dipastikan hal itu tidak adil. Itu adalah hal gila.
Lalu apa kegunaannya orang hidup saleh bila balasannya adalah hidup kesusahan? Apa untungnya buat Tuhan dan buat orang saleh? Apa Tuhan senang melihat orang kesayangan-Nya menderita? Kalau Dia senang, berarti Tuhan itu kejam sekali.
Menurut Ayub, kesalehan seseorang perlu di uji oleh Allah. Mengapa? Karena di samping kesalehan original ada juga kesalehan “kaleng-kaleng” atau abal abal. Ayub berkata, “Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas” (Ayb 23:10).
Dan menurut Rasul Petrus, tujuan dari kesalehan orang saleh diuji Allah adalah “Untuk membuktikan kemurnian imanmu — yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api — sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diriNya” (1Ptr 1:7).
Renungan: Iman berupa kesalehan perlu diuji dengan api yang panas biar murni”
Tuhan memberkati.