Kiong Koe Berkicau: Perahu

0
531 views
Naik sampan bermotor ini adalah hal yang sangat lumrah di Agats Asmat. (Mathias Hariyadi)

Mat 9:1-8

Untuk umat Apau Kayan, perahu adalah “istri kedua” setelah istri sah.

Mengapa mereka menyebut seperti itu? Karena setiap kali mereka mau berladang dan berburu satu-satunya sarana transportasi sungai yang mereka gunakan adalah perahu.

Tanpa ada perahu mustahil mereka ke hulu berladang dengan berenang melewati sungai yang besar.

Perahu telah ikut andil menyeberangkan mimpi atau cita-cita dan semangat kerja yang mereka himpun di rumah menuju ke tempat tujuan mereka bekerja di ladang dan berburu binatang.

Tatkala mereka berada di atas perahu,  mereka menata pikiran, menyusun strategi, menghimpun  tenaga dan menjaga sikap berjaga supaya konsentrasi dan kontemplasi tetap terawat dengan baik. Kesadaran seperti itu, sangat diperlukan di atas perahu.

Melalui kesadaran itu, kita bisa paham bahwa berada di atas perahu yang melaju mengarungi derasnya aliran sungai yang besar dan dalam,  membawa sebuah  ancaman keselamatan jiwa penumpangnya. 

Perahu bisa saja  tenggelam bila manusia yang di dalamnya “tidak bisa tenang dan membawa beban terlalu berat” dan “orang yang tidak bisa tenang dan bebannya terlalu berat” bisa menyebabkan kapal  karam bila melewati sungai yang dangkal atau melewati giram.

Perahu yang kelihatannya sebagai sarana lumrah buat umat Allah di Apau Kayan, ternyata di balik itu, ada pesan teologi atau iman. Ketika Nuh berada dalam perahu, nyaris di perahu yang di buat itu tidak ada jendela samping dan pintu depan dan belakang.

Pintunya cuma satu yaitu, di atas. Mengapa pintunya cuma  satu dan diletakan di atas?

Karena Tuhan Allah tidak suka kalau Nuh membagi konsentrasi dan kontemplasinya ke kiri dan kanan, ke depan dan belakang. Allah mau supaya Nuh tenang dan fokus hanya memandang Allah yang berada di atas (bdk. Kej 6:14-16).

Jadi, melalui dan dalam perahu Nuh, Allah menyeberangkan sisa-sisa kehidupan “dari seberang sana ke seberang sini” demi berlangsungnya hidup manusia selanjutnya.

Dalam bacaan Injil hari ini dikatakan bahwa Tuhan Yesus menyebarang menggunakan perahu ke tempat asal-Nya. Tentu saja tidak secara fisik Dia naik perahu menyeberangi danau ke tempat-Nya. Di atas perahu itu Dia  juga membawa sertakan visi dan misi-Nya.

Singkatnya, melalui perahu Dia menyebrangkan Kehidupan dari Atas pada kehidupan dunia “orang bawah” yang terpapar kelumpuhan. Dunia orang lumpuh butuh kehidupan-Nya Tuhan Yesus.

Kita yang  saat ini  sedang menghadapi ancaman  wabah corona yang sudah melumpuhkan pori-pori kehidupan ini, perlu menyebrangkan perahu kita ke tempat Dia supaya mengalami Kehidupan.

Kita sudah tidak bisa  hitung lagi berapa kali kita naik perahu, kapal, pesawat, spead boad, motor dan semacamnya. Namun, saat kita memakai semua sarana ini, visi-misi apa yang  mau kita  bawa ke seberang? Ambisi?

Sepertinya, dalam keadaaan “lumpuh” seperti sekarang, sebaiknya dipending dan direnungkan lagi. Kalau begitu apa yang mau kita seberangkan melalui “perahu” kita “ke dunia seberang”?

Mungkinkah yang mau kita seberangkan itu, penyesalan dan pertobatan? Refleksi dan kontemplasi diri?

Doa dan aksi? Atau mungkin hati dan pikiran kita saat ini perlu “di seberangkan ke seberang sana” supaya kita bisa fokus melihat ke Atas.

Faktanya, semua “perahu-perahu” yang kita tumpangi selama ini sudah pada bocor karena kemasukan banyak air duniawi.

Hanya satu perahu yang masih eksis dan bertahan sampai saat ini yaitu, perahu Tuhan Yesus. Seharusnya kita naik ke perahu tersebut.

Mustahil kan, kalau kita masih mau naik “ke seberang” dengan menggunakan perahu yang bocor? Gawatlah, kita bisa tenggelam.

Jadi, teringat lagi ketika murid-murid Tuhan Yesus yang sibuk ngerumpi dengan  sesama murid di atas perahu. Tuhan Yesus tidak mereka ajak “ngerumpi” bersama-sama. Saat itu  Tuhan Yesus ketiduran.

Saat Tuhan Yesus ketiduran, badai dan gelombang datang menghantam perahu mereka. Murid-murid panik dan takut binasa. Tuhan…..Tuhan…bangun! Jangan tidur, situasi gawat!  Kita bisa binasa (bdk. Mrk 4:35-41).

Begitulah, bila kita sibuk dengan diri sendiri. Pasti “perahunya” diterjang badai dan gelombang. Kalau sudah “perahunya” bocor dan mau tenggelam, baru panik memanggil Tuhan… Tuhan….tolong…

Renungan: Isilah “perahu” kita dengan muatan yang bermanfaat bagi Tuhan dan orang lain.

Tuhan memberkati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here